Ibnuharun


Demokrasi Mesir Vs Akal Sehat
Agustus 29, 2013, 2:36 am
Filed under: Islam dan Politik

Demokrasi Mesir dan Akal Sehat

Hermanto Harun*

Mesir, negeri Arab yang sangat popular dalam sejarah dinamika kelimuan Islam dan negeri kinanah yang telah merekam perjalanan para anbiya itu, kini sedang mencekam dan bersimbah darah. Cerita kota Kairo yang penuh romantika cinta dalam novel-novel religi di tanah air, sekaligus pusat gerakan politik di Mesir, kini sedang merajut rangkaian cerita lain yang sangat sengit dan mengerikan. Para pegiat demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) se-antero dunia dikejutkan dengan fakta pengkhianatan demokrasi yang sedang bergelora di negeri viramid itu. Penggulingan presiden Muhammad Moursi dalam kudeta militer yang dikomandoi Jenderal Abd Fatah al-Sisi, merupakan petaka sejarah yang telah menoreh duka mendalam di pentas dunia demokrasi di abad modern. Karena, Muhammad Moursi merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung dalam Pemilu pertamakali setelah bergulirnya era reformasi di negeri kinanah tersebut.

Naiknya Moursi sebagai presiden Mesir pertama yang dipilih dalam sistem demokrasi modern, tidak bisa dipungkiri sebagai pertanda bangkitnya gerakan Islam politik di jazirah Arab. Karena gerakan Islam politik selama ini dibungkam dan bahkan dikebumikan, sehingga tidak bisa tampil ke ruang publik untuk mengambil peran dalam kekuasaan. Momentum musim semi di jazirah Arab (al-Rabi’ al-Arabiy) nampaknya memberi ruang untuk bangkit setelah beberapa dekade dalam tekanan penguasa otoriter yang bertopeng demokrasi. Momentum Arab Spring yang bergulir pada akhir 2010 yang berhembus dari Tunisia dan menyebar hampir ke seluruh Negara Arab, seolah memberi angin segar dan peluang berharga dalam berkonpetisi di pentas demokrasi politik yang selama ini tertutup.

Runtuhnya rezim otoriter Husni Mubarak yang telah berkuasa selama tiga puluh tahun di negeri Musa itu, setidaknya memberi harapan besar terhadap perjalanan demokrasi di Mesir. Namun, alam demokrasi yang baru seumur jagung dinikmati rakyat Mesir itu, kini sedang sekarat. Cita demokrasi dengan kredo ‘suara rakyat adalah suara tuhan’ yang selalu memberi ruang “kebebasan” kepada rakyat untuk menyuarakan aspirasinya, kini menjadi suram setelah tangan besi militer kembali mengambil alih kekuasaan. Demonstrasi menentang Presiden Moursi di lapangan Tahrir (Maidan a-Tahrir) pada tanggal 30 Juli lalu, dijadikan tameng oleh militer untuk mengambil kendali pemerintahan. Tak tanggung-tanggung, alibi yang dibangun juga sangat meyakinkan, bahwa jumlah para demonstran anti presiden Moursi saat itu mencapai puluhan juta orang. Walaupun, argumentasi itu ternyata sangat lemah dan bahkan sangat sumir dalam perspektif ilmiah dan akademis. Tapi, tampaknya pihak mliter tak peduli, dengan meminjam ‘daulat rakyat” kudeta militer terus melaju, walau ribuan nyawa rakyat Mesir yang tak bedosa harus menjadi tumbal.

Watak Demokrasi

Memang persoalan demokrasi menjadi problematika tersendiri bagi gerakan politik Islam. Perdebatan panjang tentang entitas (mahiyah) demokrasi dalam perspektif Islam agaknya tidak menemui ujung, karena setiap pendapat memiliki cara pandang berbeda. Apakah “penghukuman” terhadap demokrasi berangkat dari pengertian literal, sejarah dan bahkan ideologinya, atau justru pada substansi dan ‘maqasid’-nya. Walaupun, pihak yang selama ini bertelingkah tersebut, agaknya telah menemukan ruang “ijma”, untuk berdemokrasi, baik berdasarkan pertimbangan pragmatis, atau kondisi realitas yang menjadikan ‘illat’ pendapat itu berubah. Dalam hal ini, negara Mesir menjadi prototype tentang dinamika pergumulan itu, karena partai al-Nur yang bercorak salafi, yang selama ini gencar menolak term demokrasi ternyata mengikuti pemilu, dan partai Keadilan dan Kebebasan (hizb al-hurriyah wa al-‘adalah) sayap politik Gerakan Ikhwan al-Muslimin bahkan menjadi pemenang pemilu.

Ketika dua kekuatan politik Islam di Mesir tersebut sedang beromantika dengan realitas demokrasi, justru demokrasi itu dirampas oleh kelompok yang selama ini mengkampanyekan demokrasi. Hal ini tak bisa ditepis, bahwa fakta kudeta militer di Mesir didukung oleh kelompok liberal dan sekuleris, yang didukung oleh Amerika Serikat, Israel dan sekutunya. Lantas, seperti apakah tafsir demokrasi yang mereka maksudkan? Bukankah kesepakatan atas tafsir demokrasi dalam politik ditentukan oleh kotak suara pemilu? lalu mengapa mereka (liberal, sekuleris dan AS) mendukung penggulingan Muhammad Moursi dan bahkan menggantikan pemerintahan yang sah tersebut?

Pertanyaan di atas menjadi penting untuk mengungkap golongan manakah yang tulus terhadap tafsir demokrasi dan puak mana yang justru menjadikan demokrasi sebagai topeng belaka? Yang jelas, dari perspektif manapun, watak demokrasi adalah kebebesan yang merupakan hak sekaligus ruang terbuka bagi seluruh rakyat untuk mengekspresikan kemauan politik selama berada dalam koridor hukum yang sah dalam sebuah Negara. Namun yang terjadi di Mesir agaknya berbeda, karena tafsir demokrasi yang dimenangkan oleh partai Islam tidak sejalan dengan pemahaman dan kemauan demokrasi yang ditafsirkan oleh kelompok liberal dan sekulerism.

Pemahaman demokrasi oleh kelompok liberal dan sekulerism hanya benar bila pengendali kekuasaan di sebuah Negara mengikuti dogma yang selama ini mereka perjuangkan. Kata kunci perjuangan demokrasi persi liberal dan sekulersm adalah mengasingkan golongan Islam dari pentas politik. Hal ini karena ideologi liberal dan sekulerism pasti bertabrakan dengan rumus dan norma agama. Bagi mereka, bersenyawanya agama dan politik di pentas kekuasaan merupakan persekongkolan haram yang harus dinistakan, bahkan harus dimusnahkan.

Ideologi permusuhan terhadap bersenyawanya agama dan politik tersebut nampaknya telah menjadi interpretasi mutlak dan tunggal bagi kaum liberal dan sekulerism, bahkan persenyawaan itu menjadi momok yang selalu dipandang menakutkan. Sehingga, berbagai istilah yang digunakan untuk menidentifikasi golongan islamis tersebut selalu dengan ungkapan mendiskreditkan, seperti fundamentalis, ekstrimis dan bahkan teroris. Pengistilahan ini menjadi bahasa baku yang selalu dijaja oleh kau sekuleris dan liberal dalam opini publik yang dibungkus dengan kemasan yang apik yang seolah benar dan ilmiah.

Realitas demokrasi di Mesir yang sedang bergolak sekarang ini agaknya memerlukan penegasan kembali terhadap tafsir demokrasi di abad modern ini, apakah demokrasi itu masih sejalan dengan kemajuan berfikir manusia, atau justru terma demokrasi masih dalam kerangka paradgima peradaban masa lalu. Nampaknya, golongan Islam yang berjuang untuk demokrasi di Mesir sekarang ini, dan dunia Islam lainnya, perlu membaca tafsir demokrasi yang dirumuskan oleh kau liberal, sekuleris dan AS secara mendalam dan seksama. Karena, acapkali ruang demokrasi yang dimenangkan oleh golongan Islam, justru mendapat tempat dan tahtanya dipenjara, bahkan harus bersimbah darah, seperti yang terjadi di Mesir yang telah menumbalkan 6000-an nyawa rakyat tak berdosa. Jika seperti ini makna demokrasi yang diperjuangkan oleh kaum liberal dan sekuleris, maka sudah pasti yang membenarkannya layak untuk dikategorikan kehilangan akal sehat. Wallahu’alam



Reshuffle, PKS dan Kuda Hitam 2014
Maret 16, 2011, 2:45 am
Filed under: Islam dan Politik, Opini, Uncategorized

Reshuffle, PKS, dan Kuda Hitam 2014?

Hermanto Harun*

Isu reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang dinakhodai Presiden Susilo Bambang Yudoyono seolah menggelinding ke muara opini publik tanpa terkendali. Gempita reshuffle sepertinya telah menutupi banyaknya borok dalam persoalan bangsa yang tidak jelas juntrung solusinya. Bahkan, gempita suara ‘perebutan’ kekuasaan itu semakin menggenderang ditengah pekikan tangis dan derita anak bangsa yang entah kapan akan berujung.

Namun, logika kekuasaan yang dipakai petinggi negara tetap selalu unggul mengalahi teriak, gundah dan kesebalan rakyat, bahkan semua kekagalauan rakyat tersebut cenderung dimanfaatkan sebagai penghias dan gincu yang bersembunyi dibalik topeng “perjuangan atas nama rakyat”. Sehingga, rincian persoalan bangsa menjadi amburadul, acak-acakan yang sangat sulit diurai secara sistemis dan prioritas untuk diselesaikan.

Hal ini bisa terlihat dari perbalahan internal Sekretariat Gabungan (Setgab) antara Parpol koalisi pengusung SBY dalam Pemilu 2009 lalu, yang kemudian bermuara menjadi isu reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Walau tidak jelas substansi persoalan yang dipertikaikan, tetapi PKS bersama Golkar seolah diperangkapkan menjadi “kambing hitam” yang harus di usir dari rumah koalisi tersebut. Meskipun akhirnya, Golkar telah dijinakkan dan rujuk kembali dalam barisan koalisi Setgab. Lantas, apa pasal dengan PKS? sehingga partai agamis ini seolah menjadi common enemy parpol koalisi? Adakah semua itu pertanda lonceng dimulainya pertarungan Pemilu 2014 nanti?

Komitmen PKS
Dalam setiap momen kepartaian, Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishaq selalu mengungkapkan, bahwa target PKS dalam Pemilu 2014 mendatang adalah menjadi
tiga besar nasional. Tiga besar yang dimaksud bukan berarti mentargetkan nomor urut tiga atau menjadi pemenang urutan ke tiga dari Parpol peserta Pemilu. Namun, menjadi pemenang pertama, kedua atau ketiga. Artinya, target PKS tersebut akan menyisihkan posisi Partai Demokrat, PDIP dan Golkar.

Target politik PKS tersebut tentu bukan sekedar mimpi menerawang yang tidak membumi. Tetapi, berdasarkan pengalaman PKS selama mengikuti Pemilu, suara konstituen partai kaum intelek muslim ini selalu menanjak, bahkan bisa naik rangking mengalahkan partai Islam lainnya. Belum lagi dengan jualan program yang cerdas, inovatif, yang selalu bersinergi dengan hajat rakyat di lapangan dan menyentuh berbagai level sosial masyarkat, mulai kaum intlektual, pengusaha, sampai kepada kaum lemah dan marginal.

Cita ideal PKS yang dipatrikan dalam komitmen tiga besar tersebut, membuatnya pe-de untuk menjadi kompetitor handal dalam Pemilu 2014 mendatang. Dengan demikian, sebagai konsekuensi target ideal tadi, PKS harus siap dijadikan saingan “panas” yang mesti dikalahkan oleh Parpol besar pemenang Pemilu tahun 2009 lampau.

Dari itu, dengan segala dalih, PKS mesti dijegal sebelum waktu start pertandingan Pemilu 2014 dimulai. Penjegalan tersebut diantaranya adalah dengan cara ‘mengerdilkan’ kekuatan PKS dalam sistem pemerintahan.
Mengingat, posisi menteri yang diduduki kader PKS dalam kabinet SBY cukup memadai untuk dijadikan sumber kekuatan dalam pemenangan Pemilu 2014 nanti.

Dari perspektif inilah isu reshuffle kemudian digelindingkan. Dengan berbagai cara yang dijadikan alasan untuk mendepak PKS, mulai dari persoalan ‘kesetiaan’ dalam kongsi koalisi, masalah Century, masalah Hak Angket Pajak sampai masalah sikap kepada Pancasila dan nasionalisme. Semua dalil yang dijadikan justifikasi untuk menekan PKS tersebut masih remang, yang tidak jelas substansi kesalahan dan kekeliruan yang dijadikan sasaran peluru bidikannya. Sebab, jika bidikan reshuffle kabinet adalah kinerja menteri, maka tidak cukup alasan untuk mengeluarkan PKS dari koalisi. Atau, disebabkan oleh persoalan Hak Angket Pajak, lantas mengapa PDIP dan Gerindra yang justru ingin dirangkul? Padahal, sudah sangat jelas, posisi kedua partai tersebut terhadap kebijakan pemerintahan SBY. Dari itu, semua justifikasi tersebut terkesan mengada-ada, dan dipaksakan menjadi kambing hitam demi menjegal langkah nyaman PKS dalam arena Pemilu mendatang.

Hemat penulis, ada beberapa argumentasi logis mengapa PKS menjadi sasaran tembak reshuffle dalam Kabinet dan koalisi Setgab sekarang;

pertama, kuatnya solideritas kader PKS yang diyakini susah tergoyahkan. Kekuatan ini bahkan telah teruji dipentas politik nasional sampai saat ini. Dengan mengaitkan beberapa isu negatif secara nasional, seperti organisasi transnasional, berafaham wahabisme sampai ke anti NKRI. Tidak hanya itu, isu perpecahan internal dengan adanya dua faksi keadilan dan faksi kesejahteraan sengaja dihembuskan oleh pihak luar. Akan tetapi, sampai hari ini, PKS tetap eksis dan bahkan menjadi partai Islam satu-satunya yang tidak mengalami krisis ‘organisasi’ seperti beberapa partai Islam yang nyaris “sekarat”.

Kedua, kesepaduan gerak kader PKS di semua lini, baik distruktur pemerintahan, seperti menteri dan kepala dearah, maupun di lembaga legislatif dan juga lembaga-lembaga sosial kemasyarkatan dikuatirkan akan membangun “imperium” politik baru dalam dinamika politik nasional. Kesepaduan yang dimaksud adalah, selain terekat oleh kesamaan ‘idelogis’ pergerakan antara kader, juga terbukti bahwa klaim bersih, peduli dan profesional tidak hanya sebatas lifstik yang menjadi penghias wajah dan jargon politik. Namun, slogan dari idealisme itu dalam perspektif masyarakat umum, nyaris tidak complang dengan realitasnya. Kesepaduan gerak ini kemudian diyakini akan menjadi mesin dan magis politik yang akan mengantarkan PKS menduduki posisi tiga besar di Pemilu akan datang.

Ketiga, dengan kekhasan PKS yang berasaskan Islam, tapi tidak terjebak dengan sikap formalisme agama dalam setiap sikap dan jargon politiknya, membawa kecemasan baru bagi puak yang selama ini terjangkit Islamic phobia dengan isu-isu keislaman. Sebab, isu Islam politik dengan jeratan ‘negara Islam’ seringkali menjadi umpan untuk memberanguskan partai-parta Islam. Hal ini karena pengusung negara Islam di Indonesia secara otomatis akan dianggap sebagai musuh NKRI, mengigat adagium “Indonesia bukan negara agama’ sudah terlanjur berurat berakar dalam benak sekulerisasi masyarakat Indonesia.

Gonjang ganjing reshuffle kabinet dan isu kesetiaan koalisi Parpol pengusung SBY tidak lain hanyalah kilah dalam perilaku partai politik yang biasanya selalu senang ‘mengganjal teman seiring, menggunting dalam lipatan”. Isu ini juga sebanarnya tiada lain kecuali start pertarungan untuk menjadi pemenang di Pemilu 2014 nanti? Lantas, mungkinkah dengan tiga argumentasi di atas PKS akan menjadi kuda hitam di Pemilu waktu depan? Tentu struktur dan kader PKS yang lebih tahu kemungkinanya, selain kesadaran intlektualitas umat Islam terhadap pemahaman Islam dan politik itu sendiri. Wallahu’alam.

*Dosen IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Kandidat doctor (Ph.D) National University of Malaysia.



Menakakar Elastisitas Hukum Islam
April 24, 2009, 8:48 am
Filed under: Islam dan Politik

SDC11917Menakar Elastisitas Hukum Islam
”Liberal Versus Konservatif ”

Hermanto Harun*
Abstrak
Bincang mengenai hukum agaknya tidak akan pernah berujung, karena, keberadaan hukum merupakan suatu bentuk nyata akan kebutuhan manusia terhadap kehidupan yang seimbang dan harmonis. Entitas makhluk sosial yang melekat pada manusia itu, segaris lurus dengan keniscayaan akan adanya suatu sistem yang mengikat, baik yang terlahir dari rahim sosiologis maupun teologis. Dalam hal ini, Hukum Islam merupakan rujukan hukum yang lahir dari rahim teologis. Sebagai panduan kehidupan penaganutnya dalam merayap zaman, Hukum Islam memiliki kekhasan tersendiri yang memang bersifat spesial dari segala hukum yang ada di dunia, yaitu sifat elastiknya (murunah).
Tujuan dari adanya sifat elastis (murunah) Hukum Islam, jelas bukan semata untuk kemudahan umat dalam mengaktualisasikan titah Tuhan, tapi lebih jauh dari itu, elastisitas Hukum Islam merupakan bentuk konkrit dari humanitas hukum ”langit’ tersebut. Sebab, hukum Tuhan tidak sama sekali hanya pengisi ruang idealisme yang melangit (mistali), namun ditempa untuk kemaslahatan umat dalam mengarahkan kehidupan yang ideal yang tidak terserabut dari area kekinian (haliyah) dan kedisinian (waqiyah).
Elastisitas hukum Islam yang bernaung dalam syariah, kemudian dalam terjemahan realitasnya terangkum dalam fiqih tersebut, memayungi karagaman perspektif interpretasi teks hukum, selama masih dalam tatanan ruang lingkup medan ikhtilaf. Dan hal ini-lah yang berlaku dalam sejarah legislasi Hukum Islam. Keragaman istimbat hukum dalam ijtihad para fuqaha menjadi fisualitas syariah yang lebih open minded dalam formalnya. Walau, dalam hal yang prinsip (tsabat), fuqaha tetap konsisten bahwa hal tersebut termasuk dalam ranah yang absolut.
Dalam penerjemahan interpretasi hukum, karakter murunah (elastik) syariah yang sejatinya merupakan cermin dari fleksibilitas, seringkali terjebak dalam dua kutub yang sangat kontras dan bahkan antagonis. Kedua kutub tersebut, bahkan bersekukuh dengan pelbagai argumentasi, baik yang berteraskan al-Qura’an Hadits dan segala hujjah yang lazim dipakai dalam dealetika argumentasi Hukum Islam. Dua kutub yang bersebrangan itu ialah, kutub liberal dan konservatif. Meskipun secara akademik, kedua istilah ini acapkali hanya label yang subkejtif, namun dalam ranah kenyataan, dua kubu ini memang kontradiktif. Kubu liberal misalnya, seringkali lebih mengedepankan rasionalitas teks ketika bersinggungan dengan realitas empirik. Dengan berlindung dibalik ’jargon’ maslahah, akhirnya, konklusi hukum selalu berujung pada relativitas. Sedangkan sisi lain, kubu konservatif seolah mengabaikan realitas, dan cenderung bersekukuh dengan faham teks hukum yang rigit. Padahal, persoalan konteks adalah bagian dari penetapan konklusi hukum itu sendiri.
Makalah ini mencoba menakar elastisitas Hukum Islam dalam faham yang wasati, yang tidak terkungkung dalam dua kutub di atas. Dengan sikap wasati itulah sebenarnya esensi norma Islam sebagai doktrin keimanan tidak hanya sebatas slogan agama, tetapi melampui semua isme, yaitu din yang hanif.

Iftitah
Membincangkan hukum, agaknya tidak akan pernah berujung, karena, keberadaan hukum merupakan suatu bentuk nyata akan kebutuhan manusia terhadap kehidupan yang seimbang dan harmonis. Hukum juga merupakan perlambangan akan entitas manusia yang diciptakan sebagai makhluk sosial, yang tidak pernah mungkin mampu melepaskan ketergantungannya kepada sesama, ataupun dengan makhluk di sekitarnya. Dari sinilah tepatnya Ibn Khaldun menoreh ungkapan dalam magnum opus-nya al-Mukaddimah “al-insan madaniyat bi al-tab’i” (manusia, secara tabiat adalah makhluk social). Entitas makhluk sosial yang melekat pada manusia itu, segaris lurus dengan keniscayaan akan adanya suatu sistem yang mengikat, baik yang terlahir dari rahim sosiologis maupun teologis. Selanjutnya, sistem yang mengikat tersebut memerlukan sebuah otoritas dalam pengukuhannya, agar kesinambungan dan orientasi (maqasid)-nya dalam realitas hidup manusia dapat dirasakan. Sistem pengikat itulah yang kemudian dibahasakan menjadi hukum. Dalam Idealitasnya, setiap jalan hukum memiliki tujuan (hadf) dan orientasi (maqasid), dari itu, hukum bukan semata diyakini sekadar sebagai suatu penanda normatif yang tertutup (a closed code normative) yang tidak mampu mengikat perilaku. Karenanya, hukum diharuskan untuk tidak menarik jarak dari kekuasaan. Dari sini agaknya Abd Aziz menegaskan, bahwa, dalam perspektif Islam, maksud dari nizam hukm syar’i itu sendiri adalah sistem kekuasaan Islam (nizam al-khilafah al-Islamiyah). Terjemahannya, melalui kekuasaan, hukum dapat menjadi instrumen untuk mengikat perilaku. Maka benar kiranya Abn Asyur dalam penegasannya, bahwa, pemaknaan esesnsi kekuasaan (al-khilafah) tiada lain kecuali teras agama (rukn al-diny) bahkan kekuasaan tersebut merupakan perisai dari semua pundi-pundi keagamaan.
Dinamika perbincangan soal hukum, ternyata tak pernah talu dari genderang zaman. Mengingat entitas hukum adalah pengikat dan sekaligus mencerminkan corak sosial suatu komunitas, maka bincang hukum jelas tidak patut berhenti. Hal ini karena, pelaksanaan hukum acapkali terinspirasikan oleh realitas kehidupan, baik yang bersumber dari adat istiadat, pengalaman kehidupan dan dogma transenden. Bahkan ketiga ’sumber’ tadi terkadang seringkali bertemu dalam satu ruang, sehingga mengharuskan bagi pelaksana hukum untuk selalu up to date terhadap referensi dan realisasinya, agar substansi dan kemauan hukum tidak terpisah dari objek hukum. Senada dengan ini, seorang pakar hukum dari Mesir, Abd Raziq al-Sanhury, mengungkapkan bahwa, hukum itu selalu tumbuh dan berkembang, maka tidak mungkin hanya terbatas dalam kumpulan teks. Hukum itu bertahap dalam jenjang perkembangannya, dan pelegeslasian hukum adalah catatan ketika mengimajinasikan dalam keterbatasan waktu itu. Maka, imajnasi hukum tersebut tidaklah boleh dianggap final. Ketidaak-finalan imajinasi hukum tersebut terjadi karena perkembangan perilaku manusia. Dan, karena salah satu fungsi hukum tersebut adalah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia, atau sebagai perlindungan kepentingan manusia, maka upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak.
Dari sini kemudian adanya elastisits hukum. Fungsi hukum menjadi pelindung kepentingan manusia, karenanya hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai, dimana hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum itu sendiri.
Dalam lensa studi Islam, pengistilahan Hukum Islam digunakan beberapa terma, seperti, Syariah, Fiqh, Hukm, dan Undang-undang. Semua mustalahat tersebut sering mewakili slogan keumatan, walau dalam sisi kebahasaan, masing-masing istilah tersebut memiliki tekanan tersendiri. Akan tetapi, semua istilah tersebut telah memasuki lingkaran ”umum al-balwa” dalam area komunikasi umat dengan terma generalnya adalah syari’ah atau Hukum Islam.
Hukum Islam, dengan segala keunggulannya, merupakan aturan Tuhan yang bertujuan memberikan kebaikan kepada umat manusia. Dengan demikian, Hukum Islam mempunyai beberapa kekhasan yang tidak dimiliki oleh hukum manapun di dunia. Kekahsan tersebut diantaranya adalah sifatnya yang elastis (murunah). Adanya sifat elastis (murunah) tersebut, jelas selain untuk kemudahan umat dalam mengaktualisasikan titah Tuhan, tapi lebih jauh dari itu, elastisitas Hukum Islam merupakan bentuk konkrit dari humanitas hukum ”langit’. Sebab, hukum Tuhan tidak sama sekali hanya pengisi ruang idealisme yang melangit (mistali), namun ditempa untuk kemaslahatan umat dalam mengarahkan kehidupan yang ideal yang tidak terserabut dari area kekinian (haliyah) dan kedisinian (waqiyah). Dari itu, pembahasan hukum Tuhan yang mengatur hak-hak manusia, melindungi dan menjamin hak tersebut jauh lebih banyak daripada pembahasan hak-hak Tuhan itu sendiri.
Dalam penerjemahan interpretasi hukum, karakter murunah (elastik) syariah yang sejatinya merupakan cermin dari fleksibilitas, seringkali terjebak dalam dua kutub yang sangat kontras dan bahkan antagonis. Kedua kutub tersebut, bahkan bersekukuh dengan pelbagai argumentasi, baik yang berteraskan al-Qura’an, Hadits dan segala hujjah yang lazim dipakai dalam dealetika argumentasi Hukum Islam. Dua kutub yang bersebrangan itu ialah, kutub liberal dan konservatif. Meskipun secara akademik, kedua istilah ini acapkali hanya label yang subkejtif, bahkan, sebagai stigma kelompok hegemonik yang sengaja merusak paradigma umum tentang pemeluk Islam.
Namun, dalam pengertian literalnya, dua kubu ini memang hadir dalam kenyataan. Konfrontasi interpretasi teks dogma keagamaan menganga dalam ruang idealitas. Kubu liberal misalnya, seringkali lebih mengedepankan rasionalitas teks ketika bersinggungan dengan realitas empirik. Dengan berlindung dibalik ’jargon’ maslahah, akhirnya, konklusi hukum selalu berujung pada relativitas. Sedangkan sisi lain, kubu konservatif seolah mengabaikan realitas, cenderdirung bersekukuh dengan faham teks hukum yang rigit. Padahal, persoalan konteks adalah bagian dari penetapan konklusi hukum itu sendiri.
Makalah ini akan mencoba menakar elastisitas syariah dari dua dimensi arus rasionalistas pemikiran Hukum Islam tadi. Dengan segala keterbatasan penulis, tentunya berdampak kepada kesempurnaan hasil dari kajian ini. Penulis dengan segala kerendahan hati, sangat memaklumi, bahwa rasa kesempurnaan ilmu hanyalah milik mereka yang tidak pernah sampai menyelami dasar samudra pengetahuan.

Entitas Syariah dan Fiqih
Mengingat pembahasan elastisitas Hukum Islam merupakan bagian dari kajian syariah, dan secara spesifikasi pelaksanaannya berada dalam kawasan fiqih, maka, pembahasan entitas syariah dan fiqih dirasakan perlu untuk dikupas terlebih dahulu. Agar, framework elastisitas Hukum Islam nantinya selalu berada dalam kerangka kedua terma tadi. Hal ini, hemat penulis, memang penting, mengingat objektifitas akademik tentang status syariah dalam kondisi kekinian seringkali tidak beranjak awalnya dari perspektif ’asalah’ keagamaan. Sehingga, kajian tentang syariah seolah tidak mendapat tempat dalam ruang kemodernan.
Akibatnya, kajian syariah di abad modern ini, kadang terkesan remeh, bahkan bagi kalangan phobianis Islam, seperti kebanyakan orientalis (’almaniyun), yang menposisikan syariah menjadi musuh pertama mereka, karena dengan syariah akan memindahkan Islam dari dunia idealitas menuju alam realitas. Juga, upaya ”recognize” syariah seakan kembali ke zaman ’ortodoksi’ sejarah Islam. Asumsi ini berangkat dari pemikiran skeptik yang meragukan relevansi syariah di era kekinian. Sikap skeptik tersebut misalnya terselubung dalam beberapa pertanyaan; apakah syariah yang telah turun empat belas abad silam tetap relevan dijadikan rujukan hukum untuk realitas umat sekarang? Bukankah dinamika kehidupan manusia dan jaringan hubungan sosial inter-personal jauh lebih berkembang daripada waktu turunya syariah? Pertanyaan sinis yang dilontarkan oleh para orientalis dan para pemikir skpetik Barat tersebut terjadi karena adanya kekeliruan dan atau faktor kesengajaan untuk mengelirukan faham yang benar tentang syariah.
Dengan demikian, agaknya penting untuk menjelaskan posisi syariah dan yang bertalian erat dengan pembahasan syariah, dalam hal ini fiqih, karena kedua hal ini memiliki keterkaitan yang tidak boleh dipisahkan. Jika boleh dianalogikan syariah sebagai napas, maka fiqih merupakan bagian tubuhnya. Dari itu, fiqih mesti tetap harus sejoli dengan acuan syariah. Karena sesuai dengan defenisi fiqih sendiri adalah ”al-Ilm yabhas fih ’an ahkam al-masa-il al-far’iyah al-mustanbatah min adillati al-tafsiliyah al-juziyah” (yaitu bahasan ilmu pengetahuan tentang problematika hukum-hukum yang partikular yang diambil dari dalil-dalil terperinci).
Jika ditelisik, sebutan kata fiqih dan derivasinya terdapat sebanyak 20 kali dalam al-Qur’an, sedangkan dalam Hadits Nabi terdapat sebanyak 110 tempat. Pengertian al-fiqh secara literal adalah al-fahm. Pengertian ini selaras dengan makna ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, misalnya dalam surat Hud ayat 91, kata ma nafqah bermakna ma nafham. Begitu juga dengan surta al-Isra’ ayat 44, surat Taha 28. Semua kata fiqih dalam ayat ini bermakna faham.
Fiqih dalam etimologinya bermakna ’al-ilm bi al-syai’i wa al-fahm lahu’ (mengetahui tentang sesuatu dan memahaminya), maka maksud memahami susuatu tersebut tiada lain kecuali memahami agama. Dengan demikian, apa pun yang dilakukan manusia, baik perkataan, perbuatan dan segala aktivitasnya dalam ibadah, interaksi sosial (muamalat) dan hukum, tidak akan terlepas dari intervensi hukum yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, atau syariah telah memberi satu kode etik dan argumentasi hukum-nya yang diistinbatkan oleh para fukaha. Dengan demikian, fiqih juga didefenisikan oleh para ulama dengan ’ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang tetap, yang berkaitan dengan perilaku para mukallaf’. Atau ’pengetahuan tentang praktik hukum syara’ dengan argumen yang mendetail yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Dari dua defenisi di atas, terlihat jelas, bahwa fiqih merupakan bagian kecil dari elemen syariah yang besar. Namun, tanpa disadari, pemaknaan fiqih dan syariah seringkali seragam, yang akhirnya terjadi penyempitan ruang syariah pada masalah hukum fiqh an sic. Maka, Imam Ibn Taimiyah sangat menantang anggapan bahwa syariah hanya terbatas pada ruang lingkup praktik hukum fiqih, dengan tanpa mencakupi persoalan akidah. Beliau mengungkapkan ”Sebenarnya, bahwa syariah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW sangat integral, meliputi maslahat dunia dan akhirat. Akan tetapi, kadang lafaz syariah berubah bagi sebagian orang…syariah adalah kitab Allah, sunnah Rasul, dan segala yang telah dilaksanakan generasi awal umat (salaf al-ummah) baik dalam aqidah, ibadah, politik,, hukum dan kekuasaan.
Jika demikian, makna syariah mencakup segala dimensi perilaku manusia sebagai hamba. Jadinya, syariah menurut Ibn Atsir adalah ketentuan Allah SWT yang diwajibkan kepada hambanya. Secara leksikal, kata syariah berasal dari kata syara’a yang keduanya berarti tempat sumber air. Kemudian bangsa Arab mengartikannya dengan jalan yang lurus (al-tariqah al-mustaqimah), atau jalan yang diikuti (the path to be followed). Karena sumber air yang merupakan sumber kehidupan dan keselamatan tubuh, maka ia memiliki fungsi yang sama dengan jalan lurus tadi, yang memberi jalan petunjuk kepada manusia sehingga disana terdapat kesenangan jiwa.
Sebagai akibat dari telah terjadinya penyempitan paradigma makna syariah, maka makna syariah dan fiqih perlu diperjelas. Seperti yang telah dijelaskan di atas, keduanya (syariah dan fiqih) memiliki pengertian yang berbeda, karena syariah bersifat kully sedangkan fiqih bersifat juz’i. Ungkapan ini sealur dengan al-Dariny yang mengatakan bahwa syariah adalah al-nusush al-muqadadsah yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan fiqih adalah pemahaman mendalam terhadap teks-teks (nusush) tersebut dengan jalan ijtihad untuk mengetahui makna, argumen dan orientasinya. Atau, ia adalah konklusi hukum dari teks-teks dengan cara ijtihad, atau dari rasionalitas teks-teks yang juz’i, atau rasionalitas kumpulan teks yang bermakna umum dan termasuk juga yang tidak memiliki rujukan teks yang jelas. Jadi, syariah merupakan kode etik yang mengatur tingkah laku lahiriyah manusia, kemudian dirumuskan mengikuti kasus yang terus menerus muncul dalam realitas kehidupan manusia dalam bentuk fiqih. Dengan demikian, perbedaan antara syariah dan fiqh dapat diklasifikasikan sebagai berikut;
Pertama, syariah memiliki ruang lingkup yang luas, mencakup semua aktifitas manusia, sedangkan fiqih terbatas pada area bagaimana lazimnya memahami perilaku manusia sejauhmana yang legal dan illegal.
Kedua, syariah adalah suatu bentuk perintah nyata yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang meliputi tiga komponen, yaitu aqidah, akhlak, dan amaliyah. Inilah yang membuktikan bahwa fiqih merupakan salah satu komponen syariah.
Ketiga, Ketiga, syariah itu baku dan tidak bisa dirubah, sementara itu, beberapa aturan fiqih dapat dirubah sesuai dengan lingkungan dimana ia diterapkan. Keempat, Keempat, syariah berdasarkan wahyu, dimana ilmu pengetahuan hanya bersumberkan dari al-Qur’an dan Sunnah. Di dalam fiqih ditekankan pada kekuatan memberi alasan dan mengambil kesimpulan yang yang disetujui. Fiqih untuk menentukan suatu tindakan yang legal atau illegal (sah atau tidak sah), sedangkan syariah menentukan tingkatan perbuatan terima atau tidak diterima (oleh Allah SWT).
Perbedaan syariah dan fiqih seperti di atas umumnya sama dengan pendapat mainstream ulama. Pendapat ini jelas meletakkan syariah pada tempat yang istimewa, karena syariah is fix and unchangeable. Namun lain halnya dengan pendapat Abdullah Ahmad al-Naem, yang mengatakan bahwa syariah tidak sakral (devine), karena syariah bukan wahyu yang lansung datang dari Allah, akan tetapi ”the product of a process of interpretation of analogical derivation from, the text of the Quran and Sunna and other tradition”.
Seirama dengan dengan al-Naem, ‘Asmawi menyatakan bahwa konsep syariah yang diperjuangkan oleh kaum Islamis sangat rancu dan berbeda dengan pengertian yang diberikan al-Qur’an. Ini karena realitas dalam referesensi Islam, kata syariah memiliki beragam makna, sehingga pelaksanaan syariah menjadi problematik. Dengan demikian, syariah tidak lebih dari sekedar prinsip-prinsip rohani.
Kedua pendapat di atas tergolong ’syaz’, karena akan berdampak kepada pendangkalan sensistivitas terhadap sakralitas syariah. Jika hal itu terjadi, maka rasa ketaatan terhadap nila-nilai dan ajaran yang terkandung dalam syariah akan bersifat nisbi, dan akan selalu terkungkung dalam ruang relativitas, karena semua itu dianggap bukan titah Tuhan, tapi hanya interpretasi manusia belaka. Juga, kedua pendapat syaz tadi agaknya tidaklah hal baru, karena sebelumnya, para orientalis lebih dahulu mengklaim hal yang sama, bahkan lebih dari itu, seperti Muir dan Caetani yang menyatakan bahwa Islam hanya sebatas agama orang Arab, dan DB Macdonald, Gostaf Le Bone yang menyatakan al-Quran adalah karya Muhammad.

Elastsisitas Syariah
Seperti yang telah diulas dalam pembahasan sebelumnya, bahwa syariah mencakup segala dimensi kehidupan manusia. Klaim ini menjadi issu yang menarik sekaligus menantang. Menjadi menarik, kerena klaim tersebut-bagi kaum sufastaisme-hanyalah idealisme yang tidak lagi senyawa dengan realitas zaman. Issu realisasi norma syariah secara rigit hanya sekedar memenuhi kepuasan imajinatif yang tidak matching dengan kehidupan manusia di abad modern ini. Dan menjadi menantang, karena norma idealitas syariah dituntut untuk memberi solusi ril dalam ranah kedisinian.
Adanya asumsi kemusykilan dari gerbong phobianis syariah yang menyangsikan relevansi syariah itu, menjadi magnetik tersendiri bagi para ulama modern untuk menjelaskan statsus dan maqasid-nya. Yusuf al-Qardawi misalnya, dalam buku yang berjudul ”Syariah al-Islam Solihah li al-Tatbiq Fi Kulli Zaman Wa Makan” menjelaskan, bahwa kesaksian wahyu, sejarah dan realitas umat telah menjadi bukti, bahwa keraguan akan relevansi syariah di bumi nyata tidak perlu ada. Bukti dari kesaksian wahyu tersebut adalah, bahwa Allah SWT menurunkan syariah ini kepada rasul-Nya, untuk menegakkan keadilan di muka bumi, mewujudkan kemaslahatan kehidupan duniawi dan ukhrawi, seperti yang telah dijelaskan oleh rincian nas-nas hukum dan alasannya baik dalam al-Qur’an dan Sunnah. Juga, Allah SWT telah mengkhususkan syariah terakhir ini dengan karakternya yang global dan kontinu yang berbeda dari syariat sebelumnya.
Jika dari perspektif wahyu, syariah berorientasi keadilan dan kemaslahatan, maka dalam bincang perbandingan hukum, semua sepakat bahwa prinsip universal hukum adalah kebanaran dan keadilan. Dengan itu, Meryl Dean, Profesor Oxpord-Brooke University United Kingdom, menyatakan, bahwa simbol dari keadilan itu adalah blindfold (maskara), karena keadilan tidak tergantung dengan apa yang terlihat. Putusan keadilan juga tidak bergantung kepada ras, jenis kelamin, orientasi seksual, orientasi politik dan status sosial ekonomi, akan tetapi, putusan keadilan itu tergantung kepada kasus yang dilakukan. Profesor Wahbah al-Zuhayli bahkan menyatakan, bahwa disini titik temu antara syariah dan hukum konvensional, yaitu sama-sama bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan, menolak kerusakan, menciptakan keamanan dan mewujudkan keadilan dan persamaan.
Pesan syariah yang menitahkan nilai humanitas di atas tadi, menjadi ghayah yang segaris lurus dengan ungkapan al-Quran ”rahmatan li al’alamin”. Dengan demikian, keniscayaan akan norma syariah dalam interaksi manusia menjadi mutlak. Sinkron dengan itu, dalam beberapa ayat yang seringkali dilantunkan, “Tuhan langit dan bumi”, “Dialah Allah, Tuhan di langit dan Tuhan di bumi” memberikan inspirasi untuk menegakkan nilai-nilai langit dan nilai-nilai bumi yang berkaitan dengan hak-hak utama manusia.
Aspek insaniyah dalam syariah itulah yang ”menginspirasikan” lahirkan ragam metologi dalam mengambil kesimpulan hukum. Juga, pelbagai karakteristik hukum diisytiharkan, diantaranya adalah murunah (elastis) yang dengan ini, syariah akan tetap relevan direalisasikan dalam semua zaman. Selain itu, adanya sifat elastisitas dalam syariah bukan-lah bertujuan untuk memberi celah apologetik kepada kecenderungan negatif manusia dalam mencocok teks hukum dengan realitas, namun elastsitas syariah tersebut, menurut al-Qaradawi, disebabkan oleh beberapa hal;
Pertama, karena nas-nas syariah tidak merincikan segala hal, dan meninggalkan ruang kosong dari perintah nas. Hal ini bertujuan agar adanya keleluasan, kemudahan dan rahmat kepada makhluk. Ruang kosong tersebut dinamakan juga ”mantiqah al-’afw”.
Kedua, mayoritas teks yang terdapat dalam kitab suci berbentuk umum, dan tidak merincikan segalanya, kecuali dalam hal yang tidak boleh berubah dalam kondisi zaman apapun, seperti hal yang berkaitan dengan persoalan ibadah, perkawinan, talak, dan pembagian warisan.
Ketiga, nas-nas tentang hukum yang juz’i berada dalam bentuk yang ringkas, yang memungkinkan terjadinya ragam pemahaman dan multi tafsir, antara yang ekstrim dan liberal, juga antara literal dan yang filosofis.
Keempat, dalam rangka mengisi ruang kosong (mantiqah al-’afw) ta’syri, pelbagai cara yang digunakan oleh para mujtahid dalam memformulasikan hukum, baik dengan metode qiyas, istihsan, istislah, memperhatikan ’urf atau istishab dan yang lainnya.
Kelima, ketetapan menggunakan prinsip tentang perubahan fatwa yang sangat erat dengan kondisi, situasi, zaman, tempat, dan budaya. Ketetapan dasar ini berlaku semenjak zaman sahabat, khususnya khalifah Umar Bin Khattab.
Keenam, ketetapan menimbang keadaan yang darurat dan emergency dengan menggugurkan atau meringankan sebuah ketetapan hukum seperti kaedah yang telah ditetapkan oleh para fuqaha ”al-darurat tubihu al-mahzurat”(keadaan darurat akan membolehkan hal yang dilarang), ”al-hajat tanzilu manzilat al-darurat” (kebutuhan itu kadang menempati posisi darurat). Kedua keadah ini tetap berada dalam lengkaran pengawasan ”ma ubiha li al-darurat yuqaddaru bi qadariha”(batas yang boleh dilakukan ketika darurat tetap harus sesuai dengan kebutuhan).
Jika dicermati, elastisitas syariah merupakan suatu bentuk istimwa yang dimiliki oleh hukum Islam. Orientasi syariah untuk mewujudkan kemaslahatan kepada manusia itu marupakan message awal sejak Islam itu di turunkan. Maka untuk mengaplikasikan nilai kemanusiaan dalam syariah, terutama yang berhubungan dengan aturan antara manusia, hendaklah tidak bersifat statis, apatah lagi mati. Sehingga keselarasan antara dogma teks dengan realitas manusia tetap hidup. Dengan demikian, dogmasi norma syariah tidak hanya menjadi slogan yang selalu menerawang jauh dari ranah praktik, namun, menjadi suguhan solusi dalam menjawab segala problematika kemanusiaan. Inilah yang barangkali searah dengan ungkapan Muhammad iqbal, ”the Qur’an is a book which emphazise ’deed’ rather than idea”. Berangkat dari idealisme itulah, adagium ”Islam sebagai solusi” menggaung di pelbagai dunia Islam. Keharusan untuk kembali kepada al-hillu al-slamy dengan maksud bahwa Islam mesti menjadi penentu dan pengarah umat manusia dalam segala level dan dimensi kehidupan, baik material maupun spritual.
Suguhan solusi dalam ruang syariah yang luas tersebut bisa didapati dari adanya rumusan hukum murunah (elastisitas), karena, sebenarnya adanya elastisitas hukum itu merupakan langkah mensenyawakan idealitas teks dengan realitas. Perkara ini merupakan hal yang penting, mengingat faktror-faktor dasar dari perubahan hukum itu adalah murunah, taysir, pertimbangan maqasid, dan entitas syariah itu sendiri.
Dalam persoalan murunah, Kuksal menyatakan, secara formal, murunah itu dalam tiga bahasan:
1). Pada sumber-sumber (al-masadir). Elastisitas syariah terdapat dalam nas-nas yang tidak final (qat’i) baik dari sisi ketetapannya (tsubut) maupun dari kekuatan argumantasinya (dilalah). Juga, konsep elastisitas terdapat dalam sumber-sumber ijtihad para ulama, seperti ijma, qiyas, istihsan, istislah,ucapan para sahabat, dan syariat umat sebelum kita.
2). Hukum-hukum (al-Ahkam). Merupakan hikmah ilahiyah dari adanya nas hukum yang tidak merangkum rincian segala sesuatu. Sehingga disini para ulama dengan leluasa berijithad, dalam rangka mengaitkan yang furu kepada yang usul dan yang parsial kepada yang integral. Dari sini terdapat faktor elastisitas dan keluwesan syariah ketika beradaptasi dengan maslahah dan keadilan pada hukum yang bersumber dari ijtihad.
3). Kaedah-kaedah syar’iyah. Ada dua mekanisme penetapan hukum dari kaedah ini, kaedah usuliyah dan fiqhiyah. Kaedah usuliyah berkisar dalam bahasan usul fiqih dan pemantapannya, yang memberi keseimbangan setiap argumentasi dari dalil yang rinci ketika memberi konklusi praktik suatu hukum, baik dari nas yang sudah tetap (tsabit) dan final (qati’) yang tidak akan berubah, seperti terdapat dari nas yang sudah jelas (sarih). Atau pun juga dari nas yang masih debateble. Dari yang terakhir inilah, kaedah usuliyah memberi ruang operasionalisasi murunah dapat dilakukan. Adapun kaedah fiqhiyah sangat berhubung erat dengan cabang-cabang hukum, yang berafiliasi secara aktif dengan sosio-kultural. Hal ini karena kaedah fiqhiyah sangat banyak mencakupi struktur yang meliputi cabang dan bagian hukum yang parsial.

Dari bebepa penjelasan di atas, maka ranah elastisitas (murunah) syariah jelas selalu vis a vis tsabat (hukum yang sudah tetap), seperti, jika tasbat menempati orientasi dan tujuan, maka murunah dalam hal wasail (fasilitasi) dan asalib (cara). Jika tsabat berada di area usul (dasar-dasar) dan kulliyat (integral), maka murunah berada dalam furu’iyah dan juziyat. Jika, tsabat berada dalam nilai-nilai agama dan moral, maka murunah berada dalam urusan yang berkaitan dengan praktik keduniaan. Kalau boleh dianalogikan antara tsabat dan murunah, maka yang tsabat itu ibarat air, ia boleh berubah menjadi es, laut, sungai dan salju, namun dasarnya tidak akan berubah, ia tetap-lah air. Perubahan air ke dalam bentuk lain itulah yang disebut murunah. Jika diterjemahkan dalam tamsil konkritnya, seperti hukum isbal Dalam peroalan ini, sebagian orang bersekukuh bahwa hukumnya tidak berubah menurut dinamika zaman. Namun, jika direnungkan, maka yang berubah itu adalah pelaksaan hasil kesimpulan hukum tersebut, bukan hakikat hukumnya. Karena, dasar pengharaman itu adalah khuyala’ (kesombongan) bukan batas panjang-pendeknya pakain. Tentu tamsilan ini hanya bagian kecil daripada persoalan pemahaman terhadap ranah murunah dan tsabat. Ada banyak contoh jika dikaitkan dengan dengan umat kekinian, seperti bentuk amar makruf nahi munkar dan sebagainya.
Hal ini karena dalam aplikasinya, elastisitas syariah sering dipadukan dalam semangat Islam yang adaptif dengan semua konteks, yang terangkum dalam istilah tatawwur,tajdid dan tahgyir. Meskipun semua istilah ini tidak dijumpai dalam abad pertama Islam.

Elastisitas Perspektif Liberal Vs Konservatif
Sebelum memposisikan murunah, maka penjelasan syariah harus ditempatkan lebih awal. Karena, menurut Noah Feldman, syariah tepatnya, bukanlah sekumpulan aturan hukum. Bagi Muslim yang beriman, ia adalah sesuatu yang lebih dalam dan tinggi, tertanam bersama tujuan moral dan metafisik. Intinya, “syariah” merepresentasikan gagasan bahwa seluruh umat manusia-dan seluruh pemimpin-adalah subjek keadilan di bawah hukum.
Dari gambaran di atas, konsepsi syariah jelas merupakan perangkat formal Islam dalam mengatur hubungan manusia baik secara vartikal maupun horizontal. Akan tetapi, dalam interpretasi teks syariah dan penerjemahan titah tersebut dalam realitas, terdapat variasi. Sehingga tidak jarang justru keluar dangan semangat rahmat itu. Syariah yang semula menjadi muntalaq dalam membangun keadilan dan kemaslahatan manusia, justru menjadi ruang pertarungan argumentasi yang berujung konfrontasi.
Posisi murunah yang merupakan elemen dalam penerjemahan syariah, acapkali ”diperkosa” mengikuti selera dan kepentingan yang sangat pragmatis. Bahkan, berujung kepada pengabaian hakikat syariah itu sendiri. Dengan berargumentasi bahwa pelaksanaan syariah tidak mesti dengan menggantikan hukum konvensional dengan hukum Tuhan. Kerena, hukum dalam syariah terlalu umum, juga teks Tuhan itu tidak menafsirkan dan merealisasikan dengan sendirinya, akan tetapi penafsiran teks dan realisasinya juga oleh manusia. Sehingga tidak terlepas dari intervensi hawa nafsu dan kepentingan mereka. Anggapan seperti ini bukanlah hal yang baru, bahkan, era awal jahiliyah-pun, asumsi semacam ini telah menggaung, seperti yang tertera dalam kitab suci al-Qur’an, . Hal semacam ini juga sebenarnya yang dipropagandakan oleh para orientalis, bahkan mereka berangapan bahwa syariah merupakan produk para ulama pada awal Islam.
Tentu, anggapan di atas tidak bisa dijadikan pijakan yang benar untuk mengkaji posisi syariah, karena aroma distorsinya sangat kentara dan menyengat. Disini tidak lagi menyajikan posisi syariah, walau nantinya, sulit melepas ’virus’ pandangan tadi. Bahasan tentang posisi syariah merupakan pondasi awal ketika memposisikan murunah. Karena, hubungan antara ranah elastisitas hukum (murunah) tidak mungkin terlepas dari persepsi akan posisi syariah.
Harus di akui, bahwa konsep murunah merupakan upaya ’penyikapan’ dogma agama terhadap konteks dan realitas manusia. Makanya, syariah yang kemudian dibahasakan sebagai hukum Islam, sangatlah fleksibel, meski ada beberapa yang harus ketat. Ungkapan yang tenar taghayyur al-hukm bi taghayyur al-amakin wa al-azminah wa al-ahwal, menunjukkan bahwa perubahan hukum adalah sebuah keniscayaan, karena hukum selalu dinamis, bergerak sesuai dengan tempat, zaman dan situasi atau kondisi di mana umat Islam berada.
Namun, hemat penulis, dari sini mulanya interpretasi murunah itu bermasalah. Sebab, tafsir fleksibilitas Islam (syariah) kadang melampaui domain pemikiran ulama yang telah mapan. Apa yang telah dikonstruksikan oleh jumhur ulama sebagai area yang qat’i, yaitu konstruksi hukum Islam yang telah final, dianggap oleh sebagian lain sebagai zanny. Kelompok Liberal misalnya, yang mencampurkan pemikiran modernisme, dengan memberikan tafsiran Islam sesuai dengan modernitas, dan pemikiran post-modernism yang melakukan dekonstruksi segala pemikiran Islam yang sudah mapan (established) , mengusungkan tafsiran Islam yang tidak literal, substansial, kontekstual, dan sealur dengan putaran peradaban manusia senantiasa dinamik dan berubah.
Dari tafsiran ini, Islam harus memisahkan mana unsur-unsur kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental.
Menurut kelompok liberal, bahwa hal-hal yang telah dijadikan hukum yang final (qat’i) juga tidak luput dari intervensi budaya lokal (Arab). Mengingat, ajaran Islam pertama kali turun di negeri Arab. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, seperti soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, semua ini merupakan ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Dalam soal jilbab misalnya, kaum Liberal menginterpretasikan sebagai pakaian yang dikenakan dalam memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.
Dalam persoalan perkawinan beda agama, kaum Liberal juga berpandangan ’liar’. Menurut Ulil Absar, larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. al-Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
Kemudian, dalam persoalan homoseksual, Aktivis Hak Azazi Manusia, Siti Musdah Mulia, yang juga wakil dari Conference of Religions and Peace, mengatakan bahwa salah satu berkah untuk manusia adalah bahwa semua para laki-laki dan perempuan bersifat sama, dengan mengabaikan etnisitas, kekayaan, posisi-posisi sosial atau bahkan orientasi seksual. Baginya, tidak ada perbedaan antara lesbian dan tidak lesbian. Dalam pandangan Allah, orang-orang dihargai berdasarkan pada keimanan mereka.
Pandangan-pandang liar di atas, sebagai akibat dari penafsiran yang sangat umum terhadap ranah murunah. Dengan mengedepankan terma maslahah dengan jargon ”aina wajadta al-maslahah, fatsamma syar’u Allah”, akhirnya subjektivitas maslahat meruntuhkan konsepsi final hukum dalam agama. Padahal, sangat jelas, semua ulama telah berpendapat bahwa maslahat tidak boleh mengalah nas yang qat’i, dan sekaligus juga tidak dapat gunakan.
Konsepsi kaum liberal yang seolah ingin melabrak kemapanan dan bersekukuh dengan konsepsi pembaruan, dalam konteks nas yang jelas (sarih) tidak bisa diterima. Karena pembaruan tidak berarti merombak kemapanan, namun mengembalikan sesuatu sesuai dengan wujud semulanya. Ini artinya, rekonstruksi faham keberagamaan tidak bisa melampaui garis panduan yang telah digariskan oleh nas secara gamblang dan jelas, apatah lagi dengan hanya merekonstruksi nas dengan bertolak dari pemahaman akal an sic.
Disisi lain, potret murunah dalam syariah justru berada dalam kungkungan yang sangat terbatas. Alih-alih memposisikan diri dalam gerakan pemurnian agama, malah justru terperangkap dalam kelakuan yang konservatif. Sikap konservatif, walau secara literal berasal dari bahasa Latin, conservāre, yang berarti melestarikan “menjaga, memelihara, mengamalkan” namun dalam realisasinya, sikap konservatif terjebak dalam kungkungan yang sangat literal.
Purifikasi pemahaman tentang syariah yang diusungkan oleh pemikiran literalis, satu sisi merupakan usaha untuk kembali kepada nilai-nilai agama yang murni, namun disisi lain, acapkali mereka terkesan abai dengan persoalan-persoalan konteks umat. Sehingga, kadang yang terjadi justru penampakan wajah Islam yamg kaku, statis dan asing. Segala ”penampakan” tersebut kadang disebabkan oleh kurangnya kearifan dalam menyajikan teks pada konteksnya. Dari sini agaknya unsur ’al-tariqah’ dalam menyampaikan kemauan teks, justru menjadi penting, karena ’al-maddah’ yang benar boleh jadi tercederai oleh sebuah penerjemahan di tempat yang salah.
Tentu sangat sulit untuk mengelak dari sikap literal, karena pada dasarnya, kesemua ulama merujuk lebih dulu pada teks dalam menyelesaikan persoalan konteks. Apatah lagi dalam hal yang sudah dinyatakan final (qat’i), ketundukan kepada teks bukan sebagai pilihan, tapi keharusan. Dari itu, istilah literal-di sini-hanya sebagai penilaian sikap seorang muslim dalam berdialetika dengan teks.
Sebenarnya, apa yang terjadi sekarang, dalam ”mendialogkan” teks keagamaan dengan konteksnya, pada umumnya hanya perbedaan dalam penafsiran teks. Pergumulan dalam persoalan teks inilah yang melahirkan varian keberagamaan yang pada akhirnya tersekat dalam ’partai’ dan firqah, pemikiran dalam Islam.
Adapun sikap literal dalam memandang teks, disebut oleh Muhammad Imarah dengan ’al-manhaj al-nususy’ yaitu pemikiran yang hanya berpatokan pada zahir teks. Mereka menolak pemikiran (al-ra’y), analogi (al-qiyas) dan ta’wil. Karena, sumber hukum dalam menentukan halal dan haram dalam Islam hanyalah nas, baik al-Qur’an maupun Hadits. Akan tetapi, sejauh manakah pemikiran literalis ini bertahan di atas teks? Dari sini kemudian Imarah memandang, adanya kontradiksi, mengingat penyikapan terhadap kontekstilitas teks menjadi sangat perlu. Karena, dengan adanya perkembangan pemikiran dalam dinamika zaman, maka ukuran dalam meletakkan pondasi maslahah juga berbeda. Hal ini juga yang diakui oleh penganut pemikiran literal, bahwa hukum bisa berubah dengan berubahnya zaman, tempat kondisi dan niat.

al-Wasatiyah (middle way)
Ragam varian dalam menyikapi teks adalah bentuk dari ealastisitas syariah. Secara tersirat, semua itu melambangkan akan kekayaan khazanah kelimuan dalam Islam. Namun dalam mengambil sebuah keputusan hukum, hendaklah selalu mengacu kepada maslahah dalam perspektif nas, tanpa mengabaikan realitas. Inilah bagian dari ciri syariah, yaitu adanya keseimbangan (al-tawazun). Sikap seimbang ini, mesti berada dalam dua ruang sekaligus, dalam diri, (nafs) dan selanjutnya dalam sistem (nizam). Bukankah Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya ”la tahglu fi dinikum” . Sikap tidak berlebihan, bahkan dalam urusan ibadah sekalipun, merupakan sikap yang dipuji, sehingga Allah SWT menyebut umat nabi terkahir ini dengan ummata washata. Sikap ’pertengahan’ dalam memposisikan diri pada dua kutub di atas, merupakan jalan terbaik, agar tidak terjatuh ke dalam sikap ekstrim (al-ghuluw). Dengan itulah, hingga ungkapan al-Qur’an memberi kedudukan ”ja’alna-kum” dengan gelar umat yang ideal, yaitu komunitas yang wasata.
Ungkapan ummatan wasata sehaluan dengan tugas yang diemban ’amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar’ sehingga gelar “middlemost community” merupakan suatu identitas dari sikap yang tidak menutup rapat eksperimentasi pengetahuan, juga tidak latah dalam hal yang baru. Akan tetapi, tetap berpegang pada konsepsi, manhaj dan pondasi dasar yang telah dimiliki, kemudian melihat setiap pemikiran dan eksperimen, dengan slogan “kebenaran terkadang hilang dari diri mukmin, dimana-pun menemukan kebenaran itu, harus diambil dengan penuh ketetapan dan keyakinan”. Dari itu para ulama menginterpretasikan kalimat wasata sebagai al-adl (keadilan).
Sikap wasatiyah (pertengahan), tidak berarti hanya netral dari dua kutub konfrontasi, tapi lebih merupakan sikap baru yang merangkum nilai kebenaran dan keadilan dari dua sisi yang bersamaan, juga merupakan sikap yang adil dan seimbang.

Ihktitam
Mendiskusikan murunah hukum Islam, sebenarnya, secara tidak lansung juga membincangkan sebuah keistimewaan kita suci al-Qur’an. Karena, penerjemahan teks kitab suci al-Qur’an ke ranah realitas, tentu tidak semuanya saklek dan literal. Mengingat, watak ajaran Islam yang universal, memerlukan terjemahan-terjemahan secara rinci, ataupun pemantapan nilai-nilai normatifnya ke area kontekstual.
Namun juga, arah terjemahan hukum Islam, jelas tidak harus selalu menyesuaikan diri pada kemauan zaman. Apalagi, dalam realitas umat muslim sekarang ini, hukum Islam dibelenggu dalam ruang yang sangat sempit. Bincang hukum Islam hanya berkisar dalam ranah yang sangat parsial, seperti hukum keluarga. Ibaratnya, tubuh hukum Islam yang begitu besar dengan karakter universalnya yang bernafaskan fleksibelitas dan berteraskan ketuhanan, dipaksa harus berdiam dalam ruang sempit seklulerisme yang penuh sesak. Umat Islam seolah selalu dipaksa untuk menelan nilai-nilai sekular yang mengepankan ruh relativisme. Bahkan, kecenderungan relativisme ini didendangkan dengan irama demokrasi. Seakan, lagu demokrasi tiada lain adalah relativisme itu sendiri. Anehnya, dan sekaligus menggelikan, lagu sekulerisme itu bertiup dari para pemikir dan ilmuan yang berdiam dalam institusi keagamaan Islam. Akibatnya, hukum Islam hanya sebatas ”angan” yang selalu ditempatkan dalam ruang utopia yang tidak mungkin direalisasikan dalam kenyataan.
Dari makalah ini, agaknya boleh kita berfikir, bahwa hukum Islam yang dalam ungkapan formal keagamaan-nya al-syariah al-islamiyah tersebut, juga bisa dijadikan garis start dalam berpacu untuk mewujudkan cita al-Qur’an dalam masyarakat muslim di era global.
Namun, adakah bahasa formal keaagamaan tersebut masih tercitrakan sebagai suatu yang tidak available dalam konteks zaman? Sehingga lafaz syariah dan hukum Islam seolah terjebak kepada asumsi yang sangat kuno dan negatif. Ungkapan syariah seakan diharamkan untuk bersentuhan dengan isu-isu kemodernan dan kemajuan zaman. Padahal jika mau sedikit jujur, ungkapan formal syariah sebenarnya lebih memiliki makna yang lebih akademis dan familiar dengan konteks umat, juga memiliki dimensi yang cukup apik yang tidak mungkin terserabut dari akar hukum Islam itu sendiri. Tapi, agaknya yang lebih prioritas dari sekedar ungkapan itu adalah, kita tidak menghukum nama, tapi substansi, seperti ungkapan para ulama Islam ”hukum tidak ditetapkan berdasarkan nama, tapi berdasarkan makna dan pengetiannya”. Namun, label ”nama” juga tidaklah semurah kadar ungkapannya, karena, ungkapan ”apalah arti sebuah nama” tidak selamanya tepat dan benar. Jadi, apapun namanya, jika format hukum tersebut telah membawa pesan Tuhan yang terangkum dalam syariah, agaknya sangat tepat untuk diusungkan. Bukankah nilai formal al-Qur’an tersebut diturunkan untuk direalisasikan oleh manusia yang mengimaninya? Atau kita masih tergolong kelompok dalam ungkapan al-Qur’an, bahwa manusia itu amatlah zalim dan bodoh. wallahu’alam.

Bibliography
Abd Majid, Mahmood Zuhdi Hj. Kearah Merealisasikan Undang-undang Islam di Malaysia. Malaysia, Thinker’s Library Sdn Bhd, 1998.

Abdalla, Ulil Absar. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Lihat: http://islamlib.com/id/artikel/menyegarkan-kembali-pemahaman-islam.

al-‘Atthar, Abd al-Naser Taufiq. Tatbiq al-Syariah al-Islamiyah Fi al-‘Alam al-Islamy. Kairo: Dar al-Fadhilah, tt.

al-’Awwa, Muhammad Salim. Syahsiyat Wa Mawaqif, Arabiyah Wa Misriyah. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2004.

al-Alim, Yusuf Hamid. al-Maqasid al-Ammah li al-Syariah al-Islamiyah. Virginia: al-Ma’had al-Alami Li al-Fikr al-Islamy, 1991.

al-Anshary, Abi Abdillah Muhammad Bin Ahmad. al-Jami’ Li al-Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Katib al-Araby Li al-Taba’ah Wa al-Naysr, 1967.

al-Asmawi, Muhammad Said. Usul al-Syariah, Cet V. Beirut: al-Intisyar al-Araby, 2004.

al-Badawy, Yusuf Ahmad Muhammad. Maqasid al-Syariah ’Inda Ibn Taimiyah. Jordan: Dal al-Nafais, 2000.

al-Bustany, Butros. Dairat al-Ma’arif Qamus ‘Am Li Kull Fan Wa Matlab. Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.

al-Buthy, Muhammad Said Ramadhan. Manhaj al-Hadarah al-Insaniyah fi al-Qur’an. Beirut :Dar el- Fikr, 2005.

——————————————————-. Musykilah Ma Yusamma Bi al-Tsawabit Wa al-Mutaghayyirat Fi al-Islam” Afaq al-Islamiyah. Edisi 1 tahun ke 2 Maret 1994.

al-Jamal, Hamd Bin Shadiq Ittijahat al-Fikr al-Islamy airl-Mu’asir Fi Misr. Saudi Arabia: Dar ‘Alam al-Kutb, 1994.

al-Khan, Mustafa Said. Dirasah Tarikhiyah li al-Fiqh Wa Usulih wa al-Ittijahat al-Lati Zaharat Fiha. Beirut: Muassah Risalah, 2001.
al-Naem, Abdullah Ahmad. Toward an Islamic Reformation. Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990.

al-Qaradawi, Yusuf. al-Hall al-Islamy, Faridhah Wa Darurah. Kairo: Maktabah Wahbah, 1978.

—————————-. al-Siyasah al-Syar’iyah Fi Dhau’i Nushus al-Syariah Wa Maqashidiha. Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001.

—————————-. Bayyinat al-Hilli al-Islamy, Syubuhat al-‘Almaniyin Wa al-Mutagharribin. Kairo: Maktabah Wahbah, 11988.

—————————-. Syariah al-Islam Solihah li al-Tatbiq Fi Kulli Zaman Wa Makan. Kairo: Maktabah Wahbah, 1997.

—————————–. al-Tatharruf al-’Almany Fi Muwajahat al-Islam. Mansura: Andalusiyah Li al-Nasyr Wa al-Tawzi, 2000.

al-Qattan, Manna. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy. Kairo: Maktabah Wahbah, 2001.

al-Sanhury, Abd Raziq. Wujub al-Tanqih al-Qanun al-Madany al-Misry Wa ‘Ala Ayyi Asas Yakun Haza al-Tanqih. Majallah al-Qanun Wa al-Iqtisad VI, serial 1 1936.

al-Sullaby, Ali Muhammad. al-Wasatiyah Fi al-Qur’an al-Karim. Beirut, Dar al- Ma’rifah,20005.

al-Thusy, Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad al-Ghazaly. al-Mustasfa Min Ilm al-Usul. Bairut: Muassasah al-Risalah, 1997.

al-Zuhayli, Wahbah. “The Affect Of Shariah On The Conventional Legal Systems And Vice-Versa” dalam; Proceding International Seminar On Comparative Law 2008 (ISCOM2008,) Faculty Syariah And Law, Islamic Science University Of Malaysia. Malaysia: Percetakan Putrajaya Sdn Bhd, 2008.

Asyur, Muhammad al-Tahir Bin. Naqd ‘Ilmy li Kitab al-Islam Wa Usul al-Hukm. Kairo: al-Matbaa’h al-Salafiyah, 1344 H.

Atihah, Jamaludin. al-Nazariyat al-‘Ammah Li al-Syariah al-Islamiyah. Kairo: tp, 1998.

Azam, Abd Aziz Muhammad. al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dirasah Ilmiyah Tahliliyah Muaqaranah. Kairo: Maktabah al-Risalah, 2000.

Dean, Meryl. “Toward Interaction And Convergence Of Legal Systems, The Concep Of Justice Far East Legal System-With Special Reference To Japan” dalam Proceding International Seminar On Comparative Law 2008 (ISCOM2008), Faculty Syariah And Law, Islamic Science University Of Malaysia. Malaysia: Percetakan Putrajaya Sdn Bhd, 2008.

Doi, Abd Rahman. Non Muslim Under Shari’ah, Islamic Law. London, Ta Ha Publishers, 1983.

Harun, Hermanto. IslamicLaw, Mengapa Tidak? http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/islamic-law-mengapa-tidak.htm

Imarah, Muhammad. al-Islam Wa al-Siyasah, al-Rad ‘Ala Syubuhat al-‘Almaniyin. Kairo: Dar al-Tawzi’ Wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1993.

—————————-. Tayarat al-Fikr a1-Fikr al-Islamy. Kairo:Dar al-Syuruq, 1997.

Iqbal, Muhammad. The Reconstuction Of religios Thought In Islam. Malaysia: Masterpiece Publication Sdn Bhd, 2006.

Jarisyah, Ali. al-Ittijahat al-Fikriyah al-Mua’sirah. Kairo :Dar al-Wafa, 1988.

—————–. Usul al-Syariyah al-Islamiyah, Madmunuha, Wa Khasaisuha. Kairo: Maktabah Wahbah, 1979.

Jihamy,Jirar. Daghim, Samih. al-‘Ajm, Rafiq. Mausu’ah Musthalahat al-Fikr al-Naqdy al-‘Araby Wa al-Islamy al-Mu’ashir. Libanon: Maktabah Lubnan, 2004

Kamil, Abd al-Aziz Mustafa. Al-Hukm Wa al-Tahakum Fi Khitab al-Wahy. Riyad: Dar al-Tayyibah Li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1995/1415.

Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut :Dar al-Kutbal-Ilmiyah, tt.
Khallaf, Abd Wahhab. Ilmu Usul al-Fiqh. Istanbul: Nasiriyat, 1968.

Khlalil, Syawqi Abu. al-Isqat Fi Manahij al-Musytasyrikin Wa al-Mubassyirin. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1998.

Kuksal, Ismael. Taghayyur al-ahkam fi al-Syariah al-Islamiyah. Beirut: Muassah al-Risalah, 2000.

Laldin, Mohamad Akram. Islamic Law An Introduction. Kuala Lumpur, Ampang Press, 2006.

Misrawi, Zuhairy. http://islamlib.com/id/artikel/tafsir-humanis-atas-syariat-islam.

Muammar, Khalif. Atas Nama Kebenaran, Tanggapan Kritis Terhadap Wacana Islam Lberal. Malaysia: Akademi Kajian Ketamadunan KDH, 2006.

Mughni, Syafiq A. Nilai-nilai Islam, Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Muhammad, Yusry al-Sayyed. Mausu’ah al-A’mal al-Kamilah li al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah Jami al-Fiqh. Mansurah: Dar al-Wafa, 2000.

Qutb, Sayyid. Fi Zilal al-Qur’an, Juz 1. Kairo: Dar al-Syuuruq, 1994.
——————. Nahwa Mujtama’ Islamy. Kairo: Dar al-Syuruq, 1988.
Qutb,Muhamad. Hawla Tatbiq al-Syariah. Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1412H.
Raziq, Nadiah Abd. Syawei, Taufiq. Adb Raziq al-Sanhury Min Khilali Awraqihi al-Syahsiyah. Kairo: al-Zahra, 1988.

Suharto, Ugi. Pemikiran Islam Liberal, Pembahasan Isu-isu Sentral. Malaysia: Dewan Pustaka pelajar, 2007.

Syamsuddin, Sayyed Salim Bin Sayyed. al-Wa’yu Bi Mafhum al-Ikhtilaf al-Fiqhy Li Halli Musykilat al-Tabdi’ Fi al-Waqi’ al-Islamy al-Rahin dalam Issues of Culture And Thought, Malaysia-Jordan Perspectives (Malaysia, Depaertment Of Theology and Philosophy, Faculty of Islamic Studies, National Universiity of Malaysia, 2007.

http://id.wikipedia.org/wiki/Konservatisme
http://ilmuhukum76.wordpress.com/2008/06/02/penemuan-hukum.
http://www.almanhaj.or.id/content/631/slash/0. 18-04-2009
http://www.igama.org/20-04-2009.
http://www.nytimes.com/2008/03/16/magazine
http://www.qaradawi.net/site/topics/article.asp?cu_no=2&item_no=1221&version=1&template_id=190&parent_id=189



Renungan Hari Penentuan
April 7, 2009, 6:40 pm
Filed under: Islam dan Politik

Beberapa hari lagi, status Indonesia akan ditentukan oleh rakyatnya. Suara-suara rakyat yang dalam kondisi sekarang ini menjadi tumpuan harap perenggut tahta. Rakyat dielukan, dipuja, dan diiming-imingi ragam janji oleh pengemis-pengemis kekuasaan. Bagi pemburu kekuasaan, suara rakyat adalah ”sang ratu adil” yang akan memberi keuntungan kepada mereka dalam beberapa hari kedepan. Dengan demikian, segala lakon, mulai dari yang s impatik sampai merias penampilan lebih agamis, menjadi ajang wajah iklan media. Walau semua itu, sekedar tipu muslihat untuk mengelabui rakyat. Semua wakil calon wakil rakyat itu mengatas-namakan rakyat. Entah rakyat yang mana. Padahal, tak jarang, hasrat birahi dan syahwat kekuasaan-lah yang mereka wakilkan.

Tanggal 9 April 2009, agaknya sangat perlu untuk dijadikan hari istimewa. Hari itu, contrengan rakyat akan menitahkan arah dan tujuan bangsa. Akankah bangsa yang gemah ripah ini akan dinakhodai oleh manusia yang memiliki nurani, sehingga cercah slogan harapan keadilan dan kesejehteraan akan menyapa kehidupan rakyat nantinya? Atau, malah bangsa religi ini akan dipimpin oleh ”makhluk” yang hanya memohon restu, untuk merempas kekayaan alam, meraup keuntungan dari segala proyek pasilitas rakyat?

Penulis sangat berkeyakinan, dua gumam pertanyaan di atas, jika ditanyakan hati nurani, maka tentu gumam pertama yang diimpikan. Karena, jika memilih gumam yang kedua, maka ada hal yang tidak lagi terpaut dengan signal kebenaran akal. Atau juga, pemilih pertanyaan kedua merupakan bagian yang telah mendapatkan ”rejeki” pembagian proyek rakyat itu. Sehingga, bagi kelompok kedua ini, suara rakyat hanyalah ajang bisnis jual beli suara. Mereka tak ubahnya broker kapitalis, yang hanya mengimbalkan satu suara dengan senilai ribuan rupiah, sarung, kaos, baju, sajadah dan kebutuhan penghibur rakyat lainnnya.

Broker kapitalis, tidak akan pernah puas dengan kedudukan jabatan. Bahkan, semua kroni dan keluarga mesti mencicipi lezatnya kekuasaan itu. Adik, ponakan, anak bahkan istri diproyeksikan untuk mengambil bagian hamparan tahta. Semua ”kroni” itu seolah bersuara demi rakyat, walaupun semua itu sekedar menutup muka dengan jari-jemari. Tapi, ungkapan pepatah ”melintang patah mujur lalu” nampaknya begitu mistis, sehingga godaan kursi kekuasaan yang mendayu rayu itu, seolah menggelapkan mata dan nurani. Agaknya disini letak kebanaran ungkapan hikmah ”jika manusia itu diberikan danau emas, maka seketika itu juga ia berpikir untuk mendapatkan gunung permata”. Dari sini benarlah al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam kitab Fath al-Bari (13/135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh, hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana semua itu sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.”

Namun, lagi-lagi itulah manusia, yang tidak akan pernah puas dengan apa yang telah dimiliki. Kekuasaan merupakan ruang yang paling empuk untuk menumpukkan keinginan. Dari sini mungkin, letak kelirunya anggapan yang menjustifikasi bahwa orang kaya pantas untuk dijadikan pemimpin, karena berasumsi tidak akan korupsi. Asumsi ini sepertinya telah mengngalabui, bahkan sebetas apologi, karena ternyata koruptor kakap itu terdiri dari orang empunya.

Pada hari Kamis 09/04/09 nanti, adalah penentu bagi rakyat untuk merubah wajah bangsa dan daerah. Pada hari tersebut, setiap diri kita akan melimpahkan amanah kepada para wakil rakyat. Tentu, persoalan amanah dalam konsepsi keagamaan tidak segampang menukarnya dengan selembar rupiah. Amanah menjadi persoalan individual yang setiap orang memikul tanggung jawabnya dihadapan Tuhan kelak. Penunjukan wakil rakyat, bukan sekedar melepas tanggung jawab, namun dituntut untuk berikhtiar mencari pemikul amanahyang terpercaya, bersih dari lingkungan korupsi, profesional dalam bidang yang ditekuni dan peduli terhadap nasib rakyat, masa depan agama dan bangsa.

Jida ada kedungguhan, semua hal di atas tidak lah sulit untuk di terka. Paling tidak, ada beberapa faktor yang patut dijadikan acuan. Pertama, kehidupan sehari-hari calon wakil rakyat tersebut. Kesehariannya itu merupakan cermin dari apa yang akan dilakukan kelak. Jika, calon tersebut merakyat, maka kemungkinan besar akan tetap merakyat. Jika kehidupan rumah tangganya islami, maka akan ada rasa kepedulian untuk mewujudkan itu kepada lingkungan komunitas dan masyarakatnya secara luas. Kepribadian yang religi, dalam arti menerjemahkan pesan-pesan agama secara lues dan integratif. Kedua, latar belakang pendidikan dan lingkungan sosial. Maksudnya, latar pendidikan bisa dijadikan sebagai tolak ukur pengetahuan dan profesionalitas. Kemudian, lingkungan sosialnya dalam arti kegiatannya dalam bermasyarakat. Adakah seorang wakil rakyat tersebut pernah menyentuh pintu langgar, mushalla atau masjid di sekitar tempat tinggalnya? Paling tidak, ini akan berefek kepada pengemabanan amanah ketika menjadi Aleg nantinya. Sentuhan rumah ibadah tadi dapat menjadi ’standar’ minimum kesalehan individu, yang jika personalitasnya saleh, maka kemungkinan magnetik sensitifitas kesalehan komunitas akan lebih mendekati. Hal ini sangatlah penting, bahkan urgen, mengingat pesan baginda Rasul SAW “Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepas di tengah gerombolan kembing, lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya disebabkan ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. Tirmidzi).
Ketiga, ketika ingin meraih kekuasaan. Dengan apa suara tersebut ditukar? Para calon wakil rakyat yang memberikan uang, dan pelbagai hadiah untuk dipilih tersebut tak ubahnya sedang memberi umpan terhapap objek pancinganya. Tentu, segala bentuk pemberian tersebut hanya sekedar pemulus dalam merenggut kursi kekuasaan. Pemberian itu bukan sebagai bentuk perhatian, karena sebenarnya hanya membungkus keinginan untuk mendapat keuntungan ketika menduduki jabatan kelak. Jika berpikir bahwa semua itu tidak gratis, darimana untung itu akan didapat? Tentu jawabannya adalah uang rakyat. Dari segala proyek pasilitas rakyat. Maka tidak lah mengha. rankan, jika proyek pemerintah untuk rakyat tidak pernah sesuai dengan mutu keinginan rakyat, seperti jalan, prasarana pendidikan dan sebagainya. Hal ini karena kos kekuasaan yang begitu tinggi, sehingga proyek untuk rakyat dijadikan tumbal dalam menebus hutang kos kekuasaan tadi.

Memaang hari penentuan esok itu hanya seketika, namun dampaknya akan dirasa lima tahun dan bahkan puluhan tahun ke depan. Pada hari Pemilu itu, kita semua akan menjadi penentu dan menjadi pemandu kompas arah bangsa dan negeri kita masa mendatang. Jika para pemilih merasa sebagai penentu, maka arah dan tujuan bangsa ini sedang berada dalam genggaman rakyat. Akankah pemilih nantinya menentukan wakil mereka yang akan duduk di gedung mewah itu untuk menjadi ”pencuri” kekayaan mereka sendiri? Tentu jawabannya tidak. Jika demikian, mari tuluskan hati, tanya nurani, kita contreng wakil yang berbudi, profesional, bersih dan peduli. Insyallah. Wallahu’alam.

*Dosen Fak Syariah IAIN STS Jambi. Mahasiswa Program Doktor National University of Malaysia.



Menimbang Kelaikan HBA
Maret 16, 2009, 2:52 pm
Filed under: Islam dan Politik

Gosip kandidat calon gubernur Jambi pasca Zulkifli Nurdin mulai menghangat. Walau berjarak waktu yang masih lumayan lama, mengingat pesta pergantian pucuk kekuasaan di provinsi Jambi akan dilaksanakan pada tahun 2010 nanti. Namun eskalasi hipnotis kekuasaan agaknya tidak memandang waktu yang lama tersebut sebagai jarak dalam pengertian tersurat. Artinya, ruang waktu dari sekarang hatta menjelang saat suksesi kepemimpinan nanti, bukan bermakna jauh yang dianalogikan dengan jarak tempat, namun diinterpretasikan menjadi jarak waktu, sehingga ruang jarak itu menjadi semakin memburu dan mendesak.

Dengan demikian, seruan kursi kekuasaan sepucuk Jambi itu terasa selalu menggema, memanggil para peminat dan kontestan untuk bersiap bertarung di medan laga. Arena kontestasi telah terbuka, gong tanda start telah ditabuhkan, berikutnya siapa peserta yang siap bertanding, yang bersedia capai, lelah dan menyediakan energi maksimal, bahkan siap main curang, dipersilakan memasuki kawasan pertandingan. Tentu, dengan segala resiko dan konsekuensinya.

Jika disimak, senarai nama-nama yang muncul di pelbagai media Jambi, ada beragam beackground warna landasannya. Mulai dari akademisi, politisi, tokoh bahkan sampai broker politik. Semua latar belakang tersebut,€ sebenarnya sudah bisa dipilah ”warna”nya oleh masyarakat. Malah, bauk amis penyelamatan koreng dinasti dan upaya ”mewariskan” kekuasaan juga sudah sangat tampak secara kasat mata. Namun, begitulah logika pentas demokrasi, semuanya punya hak ’manggung’ di pentas yang sama, dari tokoh umat sampai preman politik. Dari sini juga kadang musykil-nya sistem demokrasi, yang sangat sulit memilah, siapa pembela dan siapa pula penjahatnya. Semuanya merujuk kepada kitab sakti ”hak kekuasaan” yang sama, dengan mantra ”suara rakyat adalah suara tuhan”. Sehingga mantan PM Inggris, Winston Churchil menyebutkan bahwa demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari bentuk pemerintahan. Lebih buruk lagi anggapan Imam Ayatollah Khomeini, pemimpin spiritual Iran ini mengungkapkan bahwa demokrasi adalah sebuah bentuk dari prostitusi, sebab dia yang memenangkan suara terbanyak akan meraih kekuasaan, yang sesungguhnya kekuasaan itu adalah milik Tuhan.

Tapi, apa dinyana, demokrasi sudah menjadi arena “laga” yang disepakti sebagai sistem, model yang sekaligus juga diasumsikan dapat menyelesaikan kemelut perebutan kekuasaan secara elegan dan jantan. Maka, ketika arena telah terbuka, semua akan menggunakan kekuatan-kekuatan yang dianggap perlu dipersiapkan, mulai setumpuk modal sampai publikasi media.

Untuk pemilihan nakhoda kekuasaan di Jambi, dari beberapa kandidat yang sering dipublikasikan di beberapa media, nama Hasan Basri Agus (HBA) termasuk yang sering dipelbincangkan. Seorang putra ”dusun” yang sekarang sedang berkuasa di kabupaten Sarolangun itu, menjadi tokoh yang begitu popular dalam obrolan suksesi Jambi kedepan. Bahkan dalam bincang politik ke-Jambi-an, baik di tingkat warung kopi sampai diskusi mahasiswa, tokoh adat Jambi ini hampir selalu dijadikan pemeran utama, sehingga susah untuk dilewatkan. Nama HBA seoalah menjadi sangat penomenal yang memenuhi sebagian ruas angan rakyat Jambi, dan seakan menjadi sosok yang pantastik dalam menjawab teka teki pigur kandidat gubernur Jambi di masa mendatang. Lantas, ada apa sebenarnya dengan HBA? Sehingga senantiasa menjadi bumbu obrolan dalam bincang kekuasaan Jambi terakhir ini.

Agak sulit menjawabnya, karena dari sini juga jawaban dari pertanyaan di atas memiliki daya magnetis politik, sekaligus juga menyimpan kesan dan prediksi subyektifitas. Hal itu sudah pasti, karena memperbincangkan sosok dari seorang yang sudah go public akan sangat bias dan sulit untuk keluar dari kubangan kontaminitas nilai. Tergantung dari sudut dan perspektif mana standar nilai itu akan diukur. Meskipun demikian, kacamata publik juga tidak akan selamanya buta terhadap kebenaran-kebenaran nilai dan fakta emperikal.

Dengan demikian, memotret calon pemimpin Jambi masa mendatang, tentu sangat tidak memadai dengan sekedar menggunakan lensa pertimbangan emosional, baik yang beralibi kedaerahan, kesukuan dan segala isme yang menempel dalam rasa emosionalitas tersebut. Akan tetapi, minimal, piguritas kandidat tersebut dalam ruang opini publik, dapat dibaca keterterimaannya dalam semua level klasifikasi sosial. Untuk itu, hemat penulis, pertimbangan ketokohan, pengalaman, akademik, karakyatan dan keagamaan menjadi sangat bermakna dan penting. Hal ini mengingat corak Jambi ke depan tentu sangat banyak diwarnai oleh pigur tersebut.

Dalam pelbincangan ketokohan, apakah HBA sudah laik dianggap sebagai pigur dan tokoh? Tentunya hal ini boleh diuji dari eksaptabilitas publik terhadap syahksiyah-nya. Bukankah saat pilgub Jambi 2004, nama HBA sudah menjadi bagian dari dinamika itu, bahkan telah menjadi rival Antoni Zedra Abidin dalam posisi tawar wagub mendampingi Zulkulli Nurdin. Pada perspektif ini, keterterimaan HBA agaknya menjadi entry point terdiri yang sangat laik dipertimbangkan.

Selanjutnya, dari sudut pengalaman dalam bidang pemerintahan, agaknya kepiawaian HBA dalam kubangan ini juga menjadi grade yang juga sukar untuk diminuskan. Perjalanan karir di lembaga pemerintahan, mulai dari staf sampai menjadi nakhoda Kabupaten Sarolangun adalah bagian dari potret karir yang juga patut dipertimbangkan. Meskipun, hal ini juga menyimpan pertanyaan besar (alamat al-sual), akankah godaan dan rayuan kursi kekuasaan itu dapat mempertahankan kredibilitasnya yang selama ini cukup dianggap bersih dan bersahaja? Atau justru menjadi lubang yang akan menyandung langkah kebersahajaan itu. Asumsi ini tentu menjadi debatable jika ditarik ke dalam ruang sangkaan tabiat perilaku politik pada umunya, akan tetapi, adalah suatu yang musykil, ketika menapikan peran masa lalu menjadi imunitas prediksi masa depan, karena masa depan, jelas beranjak dari jejak pengalaman masa lampau.

Yang lebih penting lagi dari semua kelaikan di atas, adalah sikap kerakyatan yang didasarkan pada landasan keagamaan. Dalam persoalan ini, memperhatikan beakground pendidikan keagamaan, juga tidak salah menjadi nilai tawar tinggi, karena bagaimanapun, basis utama seorang pemimin adalah tersedianya ruang keinsyapan yang bersandar kepada pemahaman secara indivudual. Bermodal itu, maka harapannya adalah nilai-nilai dasar keagamaan individual dapat terpatri dalam kehidupan yang mewarnai lingkungan kekuasaan.

Dalam konteks kejambian, persoalan keberagamaan jelas tidak boleh dijadikan sekedar komoditas politik, yang hanya ditampilkan dalam aksi-aksi ritual keberagamaan secara verbal. Karena, budaya melayu Jambi mutlak berteraskan norma keagamaan, bahkan napas budayanya berhembus dari gerak jantung Islam itu sendiri. Jadi, kebajikan invidual seorang pemimpin yang mengalir dari keisnyafan keberagamaannya, tidak cukup sebatas salih secara personal, namun seharusnya ’abid secara sosial. Artinya, nakhoda Jambi ke depan sepatutnya diamanahkan kepada pigur yang memiliki sesitifitas kebajikan dan menerjemahkannya ke dalam kebijakan.

Pertanyaannya, apakah pertimbangan ”subyektif” terhadap kelaikan HBA di atas, senapas dengan sensitifitas masyarakat Jambi? atau masih wait and see terhadap kandidat yang akan menggelontorkan rupiah secara massal? Jika pilihan kedua, maka siapkan kwitansi untuk menggadaikan Jambi kepada broker kapitalis.Wallahu’alam.



Mengukuhkan Islam Politik
November 13, 2008, 3:53 am
Filed under: Islam dan Politik

Mengukuhkan Islam Politik

Hermanto Harun*

Gemuruh suasana Pemilu 2009 semakin menggenderang. Pertarungan politik dalam menggaet massa mulai memasuki arena, mengingat rentang waktu menjelang hari yang menentukan tersebut semakin memburu. Dalam kalkulasi politik, semua kesempatan menjadi ruang halal yang mesti dipergunakan untuk mendekati rakyat, karena, dalam medan demokrasi yang dianut bangsa Indoensia sekarang ini, suara rakyat merupakan “suara Tuhan” yang akan menitahkan siapa pemangku kekuasaan lima tahun kedepan.

Dalam konteks itu, maka sangat relevan jika membuka lagi lembaran Islam politik di Indonesia, karena jumlah muslim yang mayoritas akan selalu menjadi standar awal dalam mengambil kesimpulan akan korelasi Islam sebagai doktrin agama dan politik sebagai alat menuju kekuasaan. Eskalasi pertarungan politik di bumi pertiwi seolah tidak bisa lepas dari bincang hubungan agama dan politik, khususnya Islam dan kekuasaan. Hal ini karena, populasi muslim tidak mungkin terserabut dari bumi Indonesia, bahkan ada ungkapan “Indonesia ada karena adanya umat Islam, dan Islam memayoritas, karena adanya Indonesia”.

Agama versus Politik

Dalam ruang globalisasi, menurut al-Bak’labaki, manusia seakan menjadi masyarakat yang satu (al-qaryah al-‘alamiyah), sehingga jarak tempat antar manusia menjadi tidak berarti.Globalisasi yang kemudian melahirkan zaman modern ini memungkinkan setiap manusia itu untuk berinteraksi dengan sesamanya tanpa lagi terhalang oleh pelbagai sekat, baik oleh adat istiadat, budaya dan bahkan agama. Rambu-rambu adat, budaya dan bahkan agama seakan menjadi urusan privat yang tidak perlu lagi mengurusi persoalan publik. Artinya, hukum agama tidak lagi dijadikan coomon law yang akan mengatur lalu lintas interaksi antara sesama manusia dalam satu negara. Hukum agama hanya berlaku dalam kehidupan setiap individu, sesuai dengan agama yang diyakini. Hukum agama tidak diberlakukan menjadi hukum positif negara, kerana akan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, juga akan dituduh akan melahirkan kesan, bahwa agama mayoritas dalam sebuah Negara akan menejadi “hakim” dan penentu akan kebijakan publik, dan hal seperti ini akan mendapat tantangan, bahkan akan menimbulkan perpecahan yang berujung pada disintegrasi sebuah negara bangsa. (nation state).

Disamping itu juga, adanya klaim bahwa semua agama dianggap memiliki nilai-nilai subtansial yang universal, nilai-nilai itu tidak hanya dimonopoli oleh satu agama, akan tetapi semua agama mempunyai nilai-nilai kebaikan yang memiliki tujuan yang sama antara satu dengan yang lain. Hal inilah yang menurut Jhon Hick, bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi–masifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian semua agama adalah sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Isu ini kemudian dikenal dengan adanya istilah pluralisme agama. Isu ini berangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.

Pemahaman sekular liberal seperti di atas, di era global sekarang ini, seolah memberi kesimpulan bahwa agama harus terpisah dengan negara. Dengan alasan ini, maka muncul istilah negara sekular. Menurut Abd Wahab al-Masiry, sekular memiliki dua pemahaman, pertama, sekular yang parsial (‘ilmaniyah juziyah) yang berarti hanya memisahkan agama dengan negara (fasl al-din ‘an al-daulah). Kedua, sekular yang global (‘ilmaniyah syamilah), yang berarti memisahkan segala nilai-nilai kemanusiaan, akhlak, dan agama dari segala kehidupan manusia. Sejalan dengan Masiry, Naquib al-Attas menyatakan bahwa sekulariasi menghapus kuat kekuasaan agama sebagai lambang penyatu kebudayaan. Dia merupakan suatu gerak-daya sejarah yang lambat laun tapi pasti akan membebaskan masyarakat dan kebudayaan dari ikatan pengawalan agama dan pandangan alam yang ‘tertutup’—yakni merupakan yang lengkap serta tetap dan kekal.

Sebagai dogma transenden, Islam tidak semata cakupan aqidah, bukan pula semata ibadah spritual, bukan sistem ekonomi, sosial dan politik, akan tetapi Islam merupakan sistem hidup (manhaj hayat). Agama Islam bersifat universal yang tidak mengenal istilah parsialisasi dalam ajarannya. Disini adagium “shari’ah saleh li kulli zaman wa makan” menjadi terma yang tepat, kerana Islam selalu sejalan dengan karakter kehidupan manusia secara umum dan agama Islam selalu sesuia dengan fitrah manusia dan keberadaannya. Keyakinan inilah yang secara praktis mengamini Islam politik. Politik merupakan bagian dari instrumen keberagamaan dalam merealisasikan ajaran agama. Pandangan ini menurut Schacht misalnya, seperti yang dikutip Qaradhawi, menyatakan bahwa Islam lebih dari sekedar agama, karena Islam juga mengandung pandangan-pandangan hukum (qanun) dan politik. Secara umum, bahwa Islam adalah sistem budaya yang lengkap yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Ungkapan ini juga diamini oleh ‘gerbong’ pemikir orientalis yang lain seperti V. Fitzgerald, C.A. Nallino, R.Strothmann dan D.B Macdonald.

Integrasi Islam dan politik, sepertinya telah menjadi konsensus para ulama dan pemikir muslim. Pemahaman integratif tersebut, berangkat dari amalan Rasul bersama sahabatnya di Madinah yang mengandung sisi poilitk, meskipun dari orientasi dan landasannya bersifat agama. Meskipun, menurut Abd Raziq, bahwa Nabi Muhammad SAW tiada lain kecuali Rasul yang hanya berdakwah untuk agama Islam semata, bukan untuk kekuasaan dan bukan untuk mendirikan Negara. Pendapat Abd Raziq ini jelas tidak benar, kerana Nabi disamping menyampaikan risalah Islam kepada umatnya juga sebagai seorang penguasa yang bertugas melaksanakan hukum-hukum Islam. Inilah kali pertama pemerintahan Islam yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sesudah beliau.

Dari ulasan di atas, maka konsepsi agama versus politik, lebih khususnya Islam dan kekuasaan, merupakan hal yang tidak perlu dipertentangkan di bumi Indonesia. Konsepsi ini menjadi signifikan di ranah kekinian, mengingat dalam memasuki arena pemilu, khususnya Pemilu 2009, isu pemetaan dan pengkotakan Islam versus nasionalis, sekuler versus religius seringkali dihembuskan. Obralan isu ini jelas tidak akan menguntungkan bagi bangsa Indonesia, karena hanya akan menguras energi anak negeri secara sia-sia. Maka untuk kedepan, jalan yang tepat bagi anak bangsa adalah mengukuhkan Islam politik dalam arti sesungguhnya, yaitu menerapkan perdamaian, mengakkan keadilan dan membumikan nilai-nilai kemanusiaan. Lantas, perahu politik mana yang siap menggusung nilai idealitas ini?mari menjawab bersama dengan melihat realitas, kemudian menanyakan secara jujur jawaban intuisi dalam nubari kita yang tidak akan pernah berdusta.wallahu’alam.

*Dosen IAIN STS Jambi & Lecturer Part Time College Dar al-Hikmah Malaysia. Kandidat Doktor University Kebangsaan Malaysia.



Menyoal Islam Radikal
Oktober 16, 2008, 12:31 am
Filed under: Islam dan Politik

Kajian tentang Islam nampaknya semakin hari mengalami eskalasi yang sangat menggembirakan. Pelbagai profesi dalam lintas disiplin keilmuan merasa greget untuk ambil bagian dalam bincang tentang Islam. Tentu semua itu memiliki persepsi dan cara pandang yang berbeda sesuai backround keilmuan yang dimiliki, sehingga menimbulkan keragaman persepsi tentang agama samawi terakhir ini. Keragaman persepsi tentang Islam sebenarnya sah-sah saja, karena Islam memang agama universal (kamil) dan integral (syamil) yang tidak membatasi diri pada lingkaran penganutnya an sich, tapi juga cukup terbuka bagi “the other” untuk memperbincangkannya.

Tulisan ini mencoba berbagi atau sekedar sharring dengan Center For Moderate Moslem Indonesia yang telah melontarkan beberapa gagasan tentang Islam dalam beberapa edisi di harian Jambi Ekspres Atas kerja sama CMM dengan JE, pada edisi Jumat 3 Februari 2007. tertulis sebuah judul ” Radikalisme Lahirkan Terorisme”, dan dialog bersama Menham Juwono Sudarsono dengan sebuah konklusi “Beragama Secara “ Hitam Putih” Tumbuhkan Sikap Radikalisme”. Paling tidak, kedua judul tadi mengusik pemikiran penulis tentang Islam sehingga memotivasi tulisan ini tercurahkan.

Dalam ranah kekinian, wacana Islam sering kali `teridentifikasi’ sebagai dogma yang stagnan. Teks dogmatif Islam dipandang tidak dapat berinteraksi dengan konteksnya. Hingga terkesan hanya sebagai wahyu yang selalu melangit. Dengan demikian, Islam harus diinterpretasikan sesuai kebutuhan-kebutuhan zaman. Untuk kebutuhan inilah, perlu mengklasifikasi Islam sesuai varian-varian keberagamaan yang ada dalam komunitas Islam dalam ruang kedisinian: Sehingga pelbagai label keislaman mencuat ke permukaan opini publik dengan beragam nama dan embel-embelnya sebut saja misalnya. Islam radikal, literal, fundamental, revival yang semua ini acapkali diidentifikasi sebagai Islam ekstrem dan teroris. Sebagai rivalnya, sebutan lain dari varian tadi adalah Islam modernis, humanis, reformis yang selama ini sering dielukan dengan stigma toleran, moderat, tidak tekstual dan tak selalu bersahabat.

Pada dasarnya pengistilahan dan polarisasi Islam seperti di atas tidak pernah ada dalam sejarah abad pertama Islam, karena Islam yang diterjemahkan oleh nabi Muhammad SAW dari kitab suci al-Qur’an adalah agama rahmat bagi. alam semesta (QS:21:107), den juga agama yang maha sempurna (QS:5:8). Menurut Hasan al-Banna (1906-1949), kesempurnaan Islam terletak pada ajarannya yang universal, yang bahasannya mencakup semua level dan lini kehidupan, baik daulah (negara), khillafah (pemerintahan), ijtima’iyah (kemasyarakatan), khuluqiyah (moral), ‘adalah (keadilan), tsaqafah (pengetahuan), sampai tsarwah (kebendaan). Namun seiring perjalanan sejarah, secara faktual, polarisasi Islam seperti varian-varian di atas, tumbuh dan bahkan berkembang. Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya pemahaman yang jernih dan obyektif terhadap Islam sehingga menimbulkan paham Islam yang parsial. Pemahaman parsial terhadap Islam inilah yang selalu mengurung pemeluknya ke dalam ruang ‘isme-isme’ dan kadang terjebak pada kepentingan-kepentingan sesaat.

Pada sisi lain, polarisasi varian Islam lebih terkesan stigma yang ‘dipaksakan oleh Barat, terutama setelah terjadinya peristiwa Sabtu kelabu yang meledakkan WTC dan gedung Pentagon di AS. Pengistilahan varian Islam lebih cenderung dikelompokkan kepada dua kubu yang berlawanan, yaitu pihak kawan dan lawan. Bagi varian yang bersahabat dan bisa ‘mengakomodasi’ kemauan Barat, selalu mendapat sebutan reformis, modernis, dan toleran. Sebaliknya, yang terkesan tidak ‘familiar’ dengan pihak Barat, senantiasa mendapatkan label radikalis, literlis dan bahkan teroris, walau semua label itu tidak memiliki standar pemahaman yang jelas dan definisi yang konkrit. Bahkan sampai saat ini. semua embel Islam tadi masih menjadi bola salju yang siap menggelinding di atas pelbagai kepentingan, baik ideologi maupun politik.

Islam Hitam Putih

Penulis sepakat dengan pernyataan, Juwono Sudarsono, bahwa untuk meredam radikalisme, perbaikan ekonomi sosial serta pemberantasan korupsi menjadi hal sangat penting, karena buruknya kesejahteraan sosial akan melahirkan sikap radikal, seperti ungkapan slogan Arab “shout al-Bathn a’la Min shout al-dhumir” (suara perut lebih nyaring dari suara nurani). Pemberantasan korupsi juga menjadi hal sangat urgen dalam meredam sikap radikal, karena tindakan korupsi merupakan sikap kesewenangan dan kepongahan pemangku kekuasaan yang selalu mempertontonkan arogansinya dihadapan rakyat jelata sehingga melahirkan rasa kecemburuan sosial dan ketertindasan.

Namun ada juga hal lain yang patut untuk dikritisi dari pernyataan Juwono, setidaknya ada dua hal. pertama, pengidentifikasian beberapa varian Islam di Indonesia kedalam kelompok radikalisme seperti Hizb al-Tahrir (HTI) Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) serta pesantren Ngruki yang pimpin Kiyai Abu Bakar Ba’asyir. Menurut penulis – walau ada hal yang juga berbeda dengan mereka- pernyataan Juwono tersebut seakan menggiring opini publik untuk menstigma varian tadi ke dalam kelompok yang harus `diwaspadai karena akan melakukan tindakan radikal. Di sini penulis tidak melihat standar apa yang digunakan Juwono dalam mengelompokkan beberapa varian ini pada group yang berfaham radikalisme. Kedua, beragama secara ‘hitam putih’ akan melahirkan sikap radikalisme. Bagi penulis, pernyataan Juwono itu memperlihatkan bahwa pola fikir pejabat negara kita telah terkontaminasi oleh konsepsi Barat dalam menyikapi Islam. Karena menurut Majdi al-Hilaly dalam bukunya “mawqif almusyrikin min alshahwah alislamiyah”, pihak Barat sering kali mengidentifikasi istilah radikal dengan seorang muslim yang berusaha mengaktualisasikan faham keberagamaannya secara menyeluruh. Istilah radikal dan beberapa embel lainnya sengaja dihembuskan Barat untuk mengaburkan nilai-nilai Islam.

Dalam Islam, memang ada ruang yang harus ‘hitam putih’. Ruang ini lebih dikenal dengan tsabat. Ruang hitam putih (tsabat) terletak pada ketegasan hukum Islam yang qat’i yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Ibn Qayyim, misalnya, membagi format hukum dalam Islam kepada dua bentuk. Pertama, format hukum yang tidak berubah dalam kondisi apapun baik oleh waktu, tempat maupun keadaan. Kedua, hukum kondisional yang berubah sesuai maslahat manusia. Pada ruang pertama, bagi pemeluk Islam dan beriman dituntut untuk konsisten terhadap dogma agamanya (QS:2451.54). Hal ini berarti dalam aktualisasikannya harus hitam putih. Di sisi lain, sebagai gandengannya, ada ruang yang murunah tidak harus hitam putih. Ruang ini terdapat pada wilayah ijtihad dalam rangka mencari solusi terhadap semua perkembangan (tathawwur) yang bersinggungan dengan ajaran Islam. Adanya ruang kosong (mantiqah al-‘afw) yang sengaja disediakan oleh syari’at untuk memberi peluang kepada kaum intlektual untuk menggunakan kemampuannya guna mencari hal yang paling ashlah bagi umat manusia serta paling layak dan pantas sesuai kondisi zamannya, dengan selalu memperhatikan maqasid syari’ah secara umum, serta mempedomani jiwa dan nash-nash yang pasti dan mapan (al-muhkamat).

Dengan demikian, pula keberagamaan yang ‘hitam putih’ tidak harus berarti radikal, karena dalam Islam, memang harus ada yang dihitam putihkan, terutama yang berkaitan dengan persoalan aqidah Namun tidak berarti Islam menjustifikasi tindakan radikalisme, karena menurut Qardhawi dalam bukunya “al-shahwah al-islamiyah Bain al-juhud wa al-tatharuf” menjelaskan bahwa radikal (tatharruf) adalah al-wuquf fi al­tharf (berhenti di pinggir) tidak di tengah. Dengan demikian terus radikal lebih dekat kepada bahaya, kehancuran dan jauh dari rasa aman. Dalam teks agama, radikal sering dibahasakan dengan al-ghuluw, al-tanattu’ dan tasydid. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam sangat menentang tindakan radikalisme.

Sekarang menjadi jelas, bahwa menjalankan agama seutuhnya tidak termasuk pada sikap radikal karena radikalisme memang bukan ajaran Islam. Wallahu ‘alam



Kebebasan Beragama yang Problematik
Oktober 15, 2008, 4:01 pm
Filed under: Islam dan Politik

Adakah manusia yang tidak beragama? Pertanyaan ini agaknya layak untuk diusungkan, mengingat, defenisi agama sendiri belum pernah di sepakati. Dalam wacana pemikiran Barat, polemik dan perdebatan tentang defenisi agama hampir tidak menemui finishnya, baik dalam bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi maupun dalam bidang ilmu perbandingan agama (muqaranat al-adyan). Sehingga “sengketa” untuk mendapat defenisi yang maqbul dan disepakati oleh semua pihak, agaknya sangat sulit, bahkan mustahil. Karena semua ahli bidang keilmuan bersikukuh dengan argumentasi dan persepsi mereka masing-masing. Maka tidak aneh jika Wilfred Cantwel Smith, seorang pakar ilmu perbandingan agama, harus mengakui betapa sulitnya mendefenisikan agama. Smith mengungkapkan, terminologi agama luar biasa sulitnya didefenisikan (The term is notoriously indefinable). Paling tidak dalam dasawarsa terakhir ini terdapat beragam defenisi yang membingungkan yang tidak satupun diterima secara luas. Oleh karenanya, istilah ini harus dibuang dan ditinggalkan untuk selamanya.

Pandangan Smith di seperti di atas merupakan bentuk keputus-asaan sekaligus pengakuan keterbatasan akan kemampuannya dalam mencari “sesuatu” yang hanya berakhir pada kesempulan akal. Pernyataan semacam ini, ternyata tidak diusungkan oleh Smith sendiri. Para serjana Barat ternyata “kelimpungan” dalam manyatukan persepsi terhadap defenisi agama. Hal ini terlihat dari banyaknya ragam defenisi yang mereka usungkan. Feuerbach misalnya, mengemukakan bahwa agama adalah ekspresi fantasi dari ideal-ideal manusia dalam mencapai eksistensi manusia, melalui cinta, kebebasan dan akal. Agama sebagai suatu image yang diproyeksikan oleh watak esensisal menusia, sehingga agama mengakibatkan aleniasi individu dari dirinya yang sesungguhnya dari keberadaannya sebagai suatu spesies (species being). Juga, menurutnya, agama adalah impian pikiran manusia. Tetapi meskipun dalam impian, kita tidak menemukan diri kita dalam kehampaan atau di surga, tetapi di bumi, dalam realitas yang nyata. Dan realitas adalah species being sebagai esensi yang direalisasikan. Muhammad Abdullah Darraz, dari kalangan pemikir muslim, berpendapat, bahwa agama dapat didefenisikan dari dua aspek. Pertama, sebagai aspek psikologis, yakni religiusitas; dengan demikian agama adalah kepercayaan atau iman kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut dita’ati dan disembah. Kedua, sebagai hakikat eksternal, bahwa agama adalah seperangkat panduan teoritik yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya. Dalam pengertian literalnya, agama sering diterjemahkan dengan din atau religion. Menurut al-Jurjani, din disepadankan dengan millah yang berarti sebuah aturan (syari’ah) yang dita’ati, yang dinisbatkan kepada Allah SWT. Defenisi ini tentu dapat diasumsikan sepihak, mengingat unsur subyektifitas “keislaman”nya sangat kental. Akan tetapi, penerjemahan agama menjadi din atau religion, juga menimbulkan pelbagai macam kebingungan, karena istilah din bermakna lebih dari sekedar ‘agama’ atau religion. Menurut para mufassir, ada elemen dasar yang sesuai dengan konsep din, yaitu makna agama, makna perhitungan, makna pembalasan dan makna kebiasaan tradisi, pandangan hidup atau aturan hukum.

Ragam pendapat tentang defenisi agama, agaknya bias dari ilmu pengetahuan dan keagamaan yang bersemayam dalam penggagas defenisi tersebut. Akan tetapi, dari keragaman defenisi tadi, bukan tidak ditemukan “kesepakatan” dan titik temu. Menurut Anas Malik Thoha, untuk mendefenisikan agama, setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni dari segi fungsi, institusi, dan substansi. Para ahli sejarah sosial (social history) cenderung mendefenisikan agama sebagai suatu institusi historis—suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan antara agama Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatar belakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya. Sementara para sosiolog dan antropolog cenderung mendefenisikan agama dari sudut fungsi sosialnya—yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satun-satuan atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang asasi—yaitu yang sakral.

Apapun defenisi agama, yang jelas, terminologi agama masih menghiasi ungkapan sehari-sehari, baik oleh kalangan intelektual maun awam. Hal ini berangkat dari kenyataan–meminnjam istilah Plato–bahwa seluruh manusia, baik dari Yunani maupun bukan, meyakini eksistensi Tuhan. Ini artinya, seluruh manusia memiliki agama, sebagai “jalan” berkomunikasi dengan Tuhannya. Dengan demikian, pilihan terhadap suatu agama merupakan hak “prerogatif” seorang manusia.

Dalam ajaran Islam, pengakuan terhadap kebebasan seseorang untuk memilih suatu agama sudah sudah sejak awal dijelaskan. Bahkan, kebebasan merupakan “slogan” yang menjadi hak setiap individu, karena salah satu pilar dasar dalam yang mewujudkan keselamatan individu dan masyarakat. Kebebasan beragama, berpolitik dan berfikir merupakan bentuk penghargaan al-Qur’an yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia. Dengan demikian, persoalan kebebasan beragama dalam Islam bukan barang “impor”, akan tetapi sudah berafiliasi dengan pemikiran Islam seiring dinamika zaman. Pengistilahan kebebasan dalam pemikiran Islam, walau tidak melulu menggunakan term al-hurriyah, namun istilah al-ihkitiyar juga merupakan terma yang sangat identik dengan kebebasan. Karena terma al-ikhtiyar sering diposisikan kontras dengan terma al-jabr, yang berarti penafian terhadap kebebasan dalam diri manusia dan masyarakat. Juga, al-ikhtiyar didefenisikan sebagai “sikap seseorang, jika berkeinginan maka ia kerjakan, jika tidak, maka ia tidak lakukan”. Tidak hanya itu, persoalan kebebasan beragama bahkan telah dijelaskan dalam kitab suci al-Qur’an, sebagai rujukan final umat Islam. Dalam al-Qur’an tertulis banyak sekali ayat yang secara jelas mengungkapkan tentang kebebasan bergama. Juga, tugas dan fungsi seorang Rasul bukan memaksakan seluruh manusia untuk memeluk Islam, akan tetapi hanya sebatas penyampai risalah Tuhan.

Penegasan al-Qur’an terhadap kebebasan beragama merupakan bukti bahwa pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk Islam tidak dibenarkan. Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah SWT, artinya:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS:al-Baqarah [2]. 256).

Ketika mengomentari ayat ini, Mohemed Talbi mengungkapkan, bahwa sepengetahuan dia, diantara teks-teks wahyu, hanya al-Qur’an yang menekankan dengan tegas kebebasan beragama. Alasannya adalah bahwa iman, agar berarti dan dipercayai harus merupakan tindakan ikhlas. Keimanan yang ikhlas adalah yang berasal dari kepuasan (iqtina) dan keyakinan, bukan hanya sebatas meniru atau keterpaksaan. Faktor keikhlasan dalam menganut agama, justru menjadi sebab kronologis turunnya ayat di atas. Kisahnya berawal dari seorang pria muslim kaum Anshar dari Bani Salim bin Auf yang memiliki dua orang anak yang beragama Nasrani. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW untuk memaksa anaknya memeluk Islam, akan tetapi kedua anaknya enggan menerima Islam dan tetap beragama Nasrani.

Selain ayat di atas, ayat lain yang secara tegas menegasikan tindakan pemaksaan untuk memeluk Islam adalah firman Allah SWT, artinya :

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS: Yunus [10]. 99).

Persolan kebebasan beragama dalam Islam bahkan tidak sebatas membiarkan seorang manusia memilih terhadap suatu agama, namun lebih dari itu, memberi kebebasan kepada pemeluk setiap agama untuk melaksanakan ritual ajaran agamanya. Hal ini karena ‘tema’ keyakinan merupakan urusan ukhrawi yang nanti akan diperhitungkan oleh Allah SWT di hari kiamat kelak. Dari itu, tidak seorangpun yang berhak menghukumi tentang pilihan keyakinan, kecuali jika seseorang tersebut dengan sengaja mengproklamirkan kekufurannya. Jika kebebasan memilih agama diberikan kepada setiap orang, maka ada bebarapa konsekuensi logis dari pemberian kebebasan tersebut. Diantaranya: 1). kebebasan melaksanakan ibadah, baik secara terang-terangan atau tersembunyi, individual maupun berkelompok. 2).kebebasan memilih mode yang selaras dengan kecenderungan agamanya, atau kebebasan melakukan praktek keagamaan. 3). Kebebasan memakai istilah, tanda dan syi’ar yang berbeda. 4). Kebebasan membangun kebutuhan rumah ibadah. 5). Kebebasan melaksanakan acara ritual keagamaan. 6). Menghargai temapt yang mereka anggap suci. 7). Kebebasan bagi seseorang untuk merubah dan berpindah keyakinan. 8). Kebebasan berdakwah untuk memeluk agamanya. Dalam al-Qur’an secara gamblang diungkapkan tentang kebebasan tersebut. Firman Allah SWT yang artinya:

Katakanlah “hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyambah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku. (QS. Al-Kafirun [109], 1-6).

Ayat ini dengan sangat tegas mengungkapkan akan adanya perbedaan antara Islam dengan agama yang lainya, bahkan secara global mengungkapkan perbedaan yang tidak akan pernah bertemu, keragaman yang tidak akan pernah serupa, pisah yang tidak akan bersambung dan corak yang tidak akan pernah bercampur. (Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qurán. 1972. hal 3992). Meskipun demikian, realitas keragaman agama merupakan fakta yang ada dan tidak mungkin untuk dinafikan. Karena, justru keragaman agama merupakan sunnatullah yang sengaja diciptakan Allah SWT sebagai ujian untuk manusia. Keragaman manusia dalam memilih jalur ‘komunikasi’ menuju tuhannya, juga telah dijelaskan dalam al-Qur’an. Firman Allah SWT, artinya:

“..untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya. Kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamuapa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS: al-Maidah [5], 48).

Dalam ayat ini, al-Tabary menginterpretasikan, jika Allah SWT menghendaki, maka Dia akan menjadikan aturan (syari’ah) itu satu aja, akan tetapi Allah SWT mengetahui perbedaan aturan itu untuk menguji (ikhtibar) manusia dan untuk mengetahui siapa ta’at dan merealisasikan ajaran yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan juga untuk mengetahui siapa yang mengingkarinya.

Dalam konsepsi Islam, perbedaan ‘syari’ah’ setiap umat, merupakan suatu dimensi yang menyimpan karakteristik dakwah setiap nabi, yang boleh jadi lebih akulturatif dengan kondisi zamannya. Namun, semua perbedaan syariah itu berhulu dari satu kesepakatan yang meng-esa (tauhid)-kan Tuhan. Imam al-Syaukani mengungkapkan bahwa semua syariat yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para nabi, sepakat menetapkan tauhid.

Namun yang terjadi dalam realitas sejarah, terjadinya penyimpangan, atau kreasi baru terhadap pemahaman keagamaan, merupakan fakta yang perlu untuk dinegosiasikan. Paling tidak, mencari kesepahaman dalam menerjemahkan nilai-nilai universalitas agama, tanpa harus menganggap atau meyakini bahwa semua agama adalah sama. Karena mencari titik temu kesamaan ajaran pokoknya, tidaklah mungkin, mengingat setiap agama memiliki sebuah konsep yang terekam dalam setiap kitab suci, dan dalam kitab suci itulah tersimpan kepribadian agama, karena agama adalah suatu sistem keyakinan yang dilandaskan pada sejumlah ajaran-ajaran yang mutlak yang tidak bisa diubah, atau pada kekuatan konvensi atau otorita-otorita tradisionoal. Dari sini titik supremasis ajaran agama memasuki wilayah truth claim, sehingga tak jarang menjadi ruang persinggungan konprontatif antara satu agama dengan yang lainnya, dan dari sinilah muncul semboyan perang atas nama Tuhan. Ini kemudian, banyak diantara ilmuan Barat bahkan cendekiawan muslim sendiri yang berkesimpulan bahwa Islam merupakan bagian dari dogma yang selalu menyerukan perang. Hingga, Islam dalam wacana Barat lebih identik sebagai agama pedang yang haus darah, fasis, akrab dengan kekarasan dan barbaristik.

Dengan dukungan media, opini penyesatan tentang identitas Islam yang berwajah “kekerasan”, seakan menjadi maenstream. Wajah bringas, teroris seolah menjadi identitas yang tidak lepas dari Islam. Padahal, dalam relaitas sejarah, kebebasan dan toleransi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku keislaman nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Toleransi Islam bahkan tampak dalam ruang yang sangat mikro, seperti dalam rumah tangga. Ungkapan al-Qur’an “wa shahib huma fi al dun-ya ma’rufa” (QS: Luqman.15) sangat jelas, bagi seorang anak yang berbeda keyakinan dengan orang tuanya, tetap harus selalu berperilaku baik kepada orang tuanya. Dalam ayat lain, firman Allah SWT, aritnya :

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS: al-Insan [76], 8)

ungkapan “asira” (yang ditawan) dalam ayat di atas adalah orang-orang musyrik, mengingat ketika ayat ini turun, tidak ada tawanan kecuali orang-orang musyrik. Ayat ini jelas mengungkapkan ajaran humanistik Islam, yang tidak membatasi ‘amal’ dalam area identitas agama yang sejenis, tapi melintasi identitas agama, suku dan tabir yang lainnya. Tidak hanya itu, toleransi Islam, bahkan memasuki ranah yang sedikit krusial, yaitu membolehkan penganut agama lain melakukan ibadah di tempat ibadah umat Islam. Dalam buku biograpy Rasul, Ibn Ishaq menulis, ketika utusan Najran—mereka beragama Nasrani—datang ke Madinah menemui Rasulullah SAW, setelah Asar, mereka masuk masjid dan mengerjakan ibadah sesuai aturan agama mereka. Ketika ada sekelompok orang ingin melarang pekerjaan mereka itu, kemudian Rasulullah mencegahnya dengan bersabda: “biarkan mereka mengerjakan sampai selesai”.

Dinamika kebebasan yang memberi buah toleransi beragama dalam sejarah Islam, tidak hanya dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Namun juga diteruskan oleh para sahabatnya. Dalam sejarah bahkan pernah dicatat, ketika orang-orang Kristen Syam dijajah oleh kekuasaan Romawi, mereka meminta pertolongan tentara muslim. Fakta lain dari toleran Islam dalam sejarah adalah surat yang di tulis oleh Betrikc Isho Yabh kepada uskup Paris ”orang Arab yang diberikan Tuhan kekuasaan seperti yang kalian ketahui, mereka tidak menyerang akidah Kristen. Bahkan sebaliknya, berlaku lembut kepada pendeta kita, menghargai agama kita dan menghargai Gereja dan rumah-rumah kita.

Argumentasi normatif dan fakta sejarah yang telah uraikan di atas, merupakan bukti bahwa Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW yang dinobatkan sebagai nabi terkahir (khatam al-nabiyin) merupakan agama yang selalu berorintasi kemanusiaan. Doktrin Islam secara universal, merupakan agama yang senantiasa mengedapankan maslahat bagi manusia, yang berpijak kepada keadilan, persamaan dan kebebasan. Hubungan Islam dengan pemeluk agama lain sejak awal telah dibangun dengan sebuah kaidah yang tidak perlu diperdebatkan, dan itu telah direalisasiakan sepanjang zaman. Kaidah tersebut adalah “lahum ma lana wa ‘alaihim ma ‘alaina” (untuk mereka apa yang ada pada kita, dan kewajiban terhadap mereka juga suatu kewajiban bagi kita).

Problematika di Indonesia

Adanya Indonesia, membuat umat Islam menjadi mayoritas, dan karena adanya umat Islam, terwujudnya Indonesia yang merdeka. Ungkapan ini setidaknya menggambarkan bahwa antara Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai negara tidak terpisahkan, baik dalam bingkai historis maupun ideologis. Secara historis, keberadaan Islam sebagai sebuah agama yang diyakini oleh mayoritas rakyat Indonesia, telah bersemayam dalam keyakinan, bahkan sebelum lahirnya Indonesia. Dan secara ideologis, norma ajaran Islam telah mempengaruhi dan bahkan menjadi acuan dalam format identitas bangsa Indonesia. Meskipun, kenyataannya sekarang, Indonesia tidak memiliki “kelamin” yang yang jelas dalam memposisikan dirinya terhadap agama. Sebagai bangsa, Indonesia memiliki rakyat yang mayoritas beragama Islam dan syariat Islam menjadi living law di tengah masyarakat, namun sebagai negara, Indonesia bukan, atau masih ‘malu-malu’ untuk disebut negara agama. Ketidak jelasan status inilah yang menjadi perdebatan panjang dan sampai hari ini belum usai. Apakah Indonesia negara sekuler, yang memisahkan diri dari agama, atau negara agama, dalam arti menjadikan agama sebagai pijakan hukum negara.

Perdebatan agama negara dan negara agama atau hubungan agama dengan negara dalam konteks keindonesiaan sudah berlansung semenjak kelahiran Indonesia sebagai negara bangsa. Perdebatan status negara di mata agama di Indonesia bukan semata persoalan kepentingan politik umat mayoritas yang kebetulan beragama Islam. Akan tetapi, secara substantif, dogma Islam tidak dapat dipisahkan dengan negara. Mengingat risalah Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW merupakan agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang (qawanin) yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Dalam hukum Islam, orientasi hukum tidak lepas dari dua hal: Pertama. Hukum yang berpijak pada landasan lahiriah (mustamid ‘ala al-zahir), yaitu hukum mengatur hubungan manusia dengan sesama makhluk. Kedua. Hukum yang berlandaskan bathin, yaitu hukum merujuk kepada hubungan manusia dengan Tuhan. Dari itu, dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara agama dan negara, keduannya bagai sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pemahaman Islam, adanya negara bukan saja atas dasar kesepakatan masyarakat (kontrak sosial) namun juga atas dasar fungsi manusia sebagai hamba Tuhan yang bergelar khalifah yang mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya. Dengan demikian, manusia harus melakukan amar makruf nahi munkar sebagai aplikasi dari perintah Tuhan dalam mencapai kehidupan yang sejahtera dunia akhirat. Untuk ber-amar makruf nahi munkar ini dibutuhkan sebuah institusi berupa negara.

Sebagai dogma transenden, Islam adalah agama universal yang tidak mengenal istilah parsialisasi dalam ajarannya. Istilah “shaleh li kulli zaman wa makan” merupakan terma yang mewakili keinginan tersebut. Kedatangan Islam tidak hanya berkutat dalam persoalan aqidah semata, tapi juga membawa konsep moral, keuangan, dan aturan-aturan (syari’ah) hukum yang mengatur pribadi, hubungan keluarga dan sosial masyarakat. Bahkan juga mengatur hubungan suatu negara dengan negara lain. Keyakinan inilah yang secara praktis mengamini Islam politik. Politik merupakan bagian dari instrumen keberagamaan dalam merealisasikan ajaran agama. Pernyataan seperti ini, sebenarnya tidak hanya diamini kebenarannya oleh intelektual muslim, tapi juga diakui oleh intelektual Barat. Schacht misalnya, seperti yang dikutip Qaradhawi, menyatakan bahwa Islam lebih dari sekedar agama, karena Islam juga mengandung pandangan-pandangan hukum (qanun) dan politik. Secara umum, bahwa Islam adalah sistem budaya yang lengkap yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Ungkapan ini juga diamini oleh ‘gerbong’ Schacht seperti V. Fitzgerald, C.A. Nallino, R.Strothmann dan D.B Macdonald.

Disinilah kemudian letak problematika kebebasan beragama di Indonesia. Satu sisi, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim mayoritas, tidak secara tegas menjadikan syari’ah sebagai dasar hukum negara. Walau, dalam ideologi Pancasila sangat jelas tertulis bahwa negara “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketidak jelasan ini akhirnya memposisikan Indonesia sebagai negara “banci” yang masih ‘aib’ mengenal identitas kelaminnya. Sementara aturan-aturan hukum, bagi yang beragama Islam, secara kasat mata selalu merujuk kepada hukum materil yang masih tersimpan dalam kitab-kita fiqh turats, walau secara secara formil sudah menjadi bagian dari aturan hukum yang diadopsi negara.

Sikap negara Indonesia yang menjarak terhadap keyakinan mayoritas rakyatnya, akhirnya menjadi persoalan, termasuk tentang kebebasan beragama, karena pada satu sisi negara ingin netral terhadap pelbagai agama rakyatnya, sementara sisi lain, rakyatnya ingin menerapkan hukum sesuai aturan agamanya. Sikap dualitas negara dan agama seperti ini akhirnya melahirkan identitas baru, bahwa Indonesia bukan negara agama akan tetapi negara yang beragama. Identitas ini tercermin dalam UU 45 BAB XI pasal 29 tentang agama yang berbunyi:

1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Undang-undang ini secara formal dijadikan rujukan tentang kebebasan beragama di Indonesia. Walau dalam ranah waqi’-nya, UU ini tidak monotafsir, tapi multitafsir. Bahkan, setiap kelompok agama memiliki paradigma tersendiri terhadap interpretasi ayat-ayat dalam UU di atas, sesuai dengan sudut pandang agama masing-masing. Landasan lain yang dijadikan ‘patokan’ tentang kebebasan beragama di Indonesia adalah UUD 45 BAB XA pasal 28E tentang Hak Asasi Manusia, yang telah mengalami perubahan kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Dalam pasal ini menjelaskan bahwa :

1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pasal-pasal di atas, oleh kelompok yang menantang campur tangan negara terhadap agama, dijadikan dalil, bahwa negara cukup hanya menjadi wasit bagi semua agama. Menurut mereka, negara harus dijaga agar tetap menjadi milik bersama. Negara cukup menciptakan aturan-aturan yang menjamin interaksi antar umat beragama agar bisa berjalan dengan baik. Asumsi ini boleh jadi benar, jika diposisikan pada wacana kebebasan memilih agama sejak semula. Akan tetapi, hemat penulis, jika persoalan kebabasan beragama dikerucutkan pada kasus Ahmad Mussadeq, Lia Eden misalnya, juga persoalan Ahmadiyah yang sekarang sedang hot diperbincangkan, maka kasusnya berbeda. Hemat penulis, persoalan ini termasuk pada subversif agama.

Menjadikan pasal-pasal tadi sebagai landasan kebebasan beragama di Indonesia tidaklah tepat, karena dalam kebebasan tersebut juga terdapat pembatasan-pembatasan, seperti yang terdapat dalam KUHP pasal 156a. Pasal tersebut menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

b) Dengan bermaksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Unsur objektif dalam dari tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156a KUHP itu adalah ‘mengeluarkan perasaan’ atau ‘melakukan perbuatan’. Itu berarti bahwa perilaku yang terlarang dalam pasal 156a KUHP itu dapat dilakukan oleh pelaku, baik dengan lisan maupun dengan tindakan.

Iintinya, bahwa kebebasan beragama merupakan hak dasar manusia. Jika kebebasan individual diwakili aspek kebebasan materilistik (al-maddy), maka kebebasan pemikiran yang merupakan aspek maknawi yang mesti dimiliki oleh setiap manusia. Dan kebebasan aqidah dan ibadah terangkum dalam kebebasan berpikir (hurriyah fikriyah). Kebebasan beragama dalam bentuk konkritnya adalah memilih aqidah dan ibadah, maka tentunya tidak akan mungkin mendefenisikan kebebasan beragama dengan defenisi yang tunggal. Hal inilah yang menyebabkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tidak memberi definisi yang konkret tentang agama, karena menghindari kontroversi filosofis dan ideologis dan amat problematik menentukan satu defenisi dalam rumusan legal. Ini artinya, bahwa kebebasan beragama perspektif Islam tidak mungkin sama dengan definisi kebebasan dalam agama lain. Lantas apakah kebebasan beragama mengikuti konsepsi agama, terlebih agama Islam atau persepsi HAM?..

Problematika selanjutnya adalah seringkali agama dijadikan legitimasi tindakan anarkis dan kekerasan. Meskipun, tindakan-tindakan itu bisa terjadi dari seluruh ideologi dan agama. Karena setiap idoelogi dan agama memiliki potensi untuk radikal, leberal atau moderat. Namun, dalam kasus di Indonesia, kekerasan yang mengatas-namakan agama Islam –jika dikaji—merupakan akibat dari persoalan yang pertama, yaitu ketidak tegasan negara dalam persoalan-persoalan yang menyangkut ajaran agama Islam. Walau demikian, tindakan anarkisme atas nama agama jelas sekali bertentangan dengan subtansi ajaran humanistik Islam yang memproklamirkan rahmat li al- ‘alamin. Kekerasan yang menjadikan dalil-dalil agama sebagai justitifikasi, jelas menistai kesucian Islam. Juga menggunakan kekerangan hanya akan melahirkan kekerasan serupa.

Jika menilik fakta sejarah, ketika dakwah dalam fase Makkah, Rasulullah SAW tidak menggunakan jalur kekerasan dalam mengemban amanah dakwah. Bahkan perkembangan Islam tidak ditentukan dengan kekerasan. Ketika Rasul dan para sahabatnya di Makkah mengalami siksaan dan pelbagai cobaan yang sungguh sangat dahsyat, sampai diantara sahabat Nabi dibunuh, sikap Rasul selalu konsisten dalam dakwah yang tidak membalas dengan kekeresan. Bahkan, penyelesaian damai terhadap konflik politik dalam masyarakat Islam menjadi keputusan dasar (mabda’), bukan pilihan (khiyar). Adapun peperangan Nabi SAW ketika di Madinah hanya sebatas membela diri dan mengamankan dakwah Islam. Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasul yang diklaim sebagai justifikasi untuk berperang, menurut Ali Gum’ah tidak lain kecuali untuk, membalas permusuhan dan menjaga diri, pengamanan dakwah dan memberi kesempatan kepada orang-orang lemah yang menginginkan memeluk Islam, menuntut hal-hal dasar, dan mewujudkan kebenaran dan keadilan.

Jadi, kekerasan dengan mengatas-namakan agama di Indonesia sangat tidak tepat. Karena kewenangan untuk melakukan tindakan hukuman adalah pihak penguasa. Dalam ini-lah keterapautan antara konsepsi negara dan agama dalam politik Islam. Bagimanapun, aktualisasi ajaran-ajaran agama Islam tidak sepenuhnya persoalan individual. Di sini letak perpedaan antara ajaran Islam dengan konsepsi Kristen terhadap negara. Jika dogma Kristen mengklaim pemisahan agama dan negara seperti ungkapan Yesus yang tercatat dalam Injil Matius XXII:21: “Urusan Kaisar serahkan saja kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan”. Maka jelas, antara Islam dan Kristen memiliki pendapat yang tidak perlu disamakan. Tapi anehnya, kadang terjadi penindasan yang seakan Islam harus mengikuti doktrin Yesus tersebut.

Setidaknya, dua persoalan itulah, seperti yang penulis sebut di atas, sebagai hal yang problematik dalam kasus kebebasan beragama di Indonesia. Dua persoalan tadi, hemat penulis, solusinya adalah bagaimana negara harus menjamin kebebasan beragama bagi umat Islam di Indonesia. Umat Islam harus diberi keleluasan untuk menjalankan ajaran-ajaran agama mereka tanpa dihalangi oleh kekuasaan negara. Subjektifikasi umat Islam untuk menerjemahkan hukum Islam ke dalam ruang kehidupan nyata, merupakan perilaku objektif dalam koridor pemahaman Islam yang kamil, syamil dan kaffah.

Selanjutnya, moderasi pemahaman keislaman juga menjadi sebuah keharusan. Artinya dalam pemahaman keislaman juga harus memperhatikan persoalan kontekstual, agar agama menjadi ajaran untuk kemaslahatan manusia. Tapi, kontekstualitas ajaran agama harus tetap perpedoman kepada kemauan teks, apalagi yang sudah jelas (sharih) dan permanen (qath’i). Karena, tidak ada teks qat’i yang bertentangan dengan maslahat. Jika ada, maka maslahat yang berbenturan dengan nash yang qat’i tidak dapat diterima (la yu’tabar), kecuali dalam persoalan qat’iyah daruriyah.

Persoalan kebebasan beragama dalam perspetif Islam, sebenarnya sudah selesai diperbincangkan. Bahkan, bukan hanya dalam kajian wacana teoritis yang tersimpan dalam kungkungan norma idealistik kitab suci al-Qur’an, akan tetapi sudah dibuktikan di atas pentas sejarah. Lembaran kanvas sejarah Islam yang bertuliskan tentang kebebasan beragama tidak hanya ditulis oleh manusia-manusia yang memang mengimani Islam, tapi juga ditoreh oleh orang-orang yang berada di ‘luar pagar’ yang mungkin pernah merasakan dilindungi, diayomi, atau dibela oleh kemunitas Islam. Juga mungkin, pernah dilukiskan oleh para ilmuan yang berusaha objektif dan jujur menggambarkan fakta sejarah dengan kacamata bening ketulusan ilmunya.

Dalam konteks keindonesiaan, bincang kebebasan beragama sebenarnya juga bisa dianggap selesai. Karena secara kasat mata, agama Islam yang diyakini oleh mayoritas rakyat Indonesia, tidak berbeda “asumsi”nya dengan Islam dimanapun di dunia. Jadi, soal kebebasan beragama bukanlah hal baru. Justru, karena fakta sejarah Indonesia juga memcatat bahwa Islam sebagai sebuah dogma transenden yang menjadi penutup dari semua dogma Tuhan, menjadi “pelindung” dari kebebasan beragama di tanah air ini. Sejarah juga telah menjadi saksi, bahwa di bawah Islam-lah semua agama bisa hidup damai. Tapi, bisa-kah kita sedikit membuka mata, dan sedikit menggelitik keimanan yang tersisisa dalam nurani, juga untuk menilai secara objektif dan jujur, keadaan muslim yang menjadi minoritas di pelbagai negara di dunia, atau di daerah dalam negeri Indonesia sendiri? Akankah mereka (muslim) sama dengan umat “lain” yang dalam keadaan minoritas dalam negara yang berpenduduk Islam? Setidaknya, kita dapat juga menutur secara terbuka fakta tersebut. Itulah harapan yang penulis impikan dalam tulisan ini. Wallahu’alam



Keranda Kematian HAM
Oktober 15, 2008, 3:57 pm
Filed under: Islam dan Politik

Pergumulan dunia global menjadi suatu fakta yang tidak lagi dapat dielakkan. Bahkan menjelma dalam bingkai kaharusan dan keniscayaan. Dalam pergumulan global, dunia tidak lagi memiliki sekat dan pembatas, masyarakat dunia seakan telah berada dalam satu ruang dan atap. Disinilah kemudian muncul persolan, karena ragam identitas dan corak komunitas masyarakat dunia, baik dari latar belakang agama, social dan budaya akan saling bersinggungan dan sangat mungkin berbenturan (shadam). Bahkan, dari pergumulan global tadi, akan terjadi ‘pemerkosaan’ norma, kepentingan dan juga ideologi pihak yang kuat terhadap kelompok yang lemah.

Oleh karena itu, untuk menghindari kemungkinan terjadi benturan-benturan antara komunitas masyarakat dunia, perlu adanya aturan-aturan preventif untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya hal tersebut, agar terwujud keharmonisan dan penghargaan atas entitas kemanusiaan. Atas dasar idealisme itu-lah, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamirkan Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948. Semua negara di jagad ini seakan telah sepakat, bahwa tanggalan tersebut menjadi hari perhelatan akbar tentang penyalamatan entitas manusia dari sikap diskriminasi antara sesamanya. Peringatan perhelatan kemanusiaan ini kemudian dikenal dengan sebutan keindonesiaan sebagai hari Hak Asasi Manusia (HAM).

Semenjak diproklamirkan, HAM menjadi aturan main dalam lalu lintas pergumulan dunia. Walau dalam faktanya, nilai-nilai yang dimuat dalam HAM tersebut sangat sepihak, tendensius dan berbau ajaran-ajaran Kristen dan Yahudi. Namun “kadung” menjadi aturan yang ditelorkan oleh badan tertinggi dunia (PBB), maka semua negara anggota PBB terikat dalam aturan tersebut, walau sangat mungkin berbenturan dengan agama dan budaya sebagian Negara anggota, terutama negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Akibatnya, terjadi perpedaan persepsi tentang substansi klausul materi HAM yang kadang menyebabkan kebanaran HAM masuk ke dalam kandang realitif dan nisbi, sehingga menyebabkan kebenaran HAM selalu diperkosa oleh kelompok-kelompok yang kuat.

Konsepsi Islam

Secara harfiah, pengertian hak adalah yang benar, tetap, wajib kebenaran dan kepemilikan sah. Dalam bahasa Inggris disebut dengan right dan bahasa Arab disebut dengan lawan kebatilan, keadilan, bagian dan nasib (louis al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam). Dari itu, HAM diungkapakan dengan huquq al-Insan. Kata huquq merupakan bentuk plural dari kata haq yang secara terminologisnya menurut al-Jurjani dalam bukunya al-Ta’rifat berarti al-tsabit al-lazi la yasugh inkaruhu (yang tetap dan tidak dingkari). Dengan demikian, keberadaan Hak Asasi Manusia memiliki tempat, baik dalam paradigma kebahasaan maupun dalam perspektif keagamaan.

Terlepas dari klausul HAM yang ditabuhkan oleh PBB tersebut yang menurut Roger Garaudy penuh dengan istilah-istilah hukum yang merupakan hasil kebudayaan Yahudi dan Kristen, dalam prespektif keberagamaan Islam, juga memiliki landasan atas hak-hak asasi manusia. Bahkan penabuhan HAM jauh lebih awal dari kelahiran akronim HAM itu sendiri, karena dalam Islam, HAM bertolak dari intruksi Tuhan yang dititahkan dalam kitab suci-Nya. Dalam kitab al-Mausu’ah al-Islamiyah al-‘Ammah disebutkan bahwa ungkapan al-Qur’an yang mengemukakan asal kata haq (haqaqa) berjumlah 283 kali dan di dalam sabda Nabi terdapat 158 Hadits. Dari banyaknya ungkapan yang mengandung kata haq atau sejenisnya dalam teks normative Islam, disimpulkan bahwa secara terminologis pengertian HAM dalam Islam lebih integral dari kandungan HAM yang dipelopori PBB. Hal ini terlihat dari pengertiannya yaitu; menjaga lima persoalan dasar manusia (al-daruriyat al-khamsah), seperti menjaga agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), harta (al-mal) dan keturunan (al-nasl). Kelima persoalan dasar tersebut telah sangat banyak sekali memenuhi khazanah tradisi kelimuan Islam terutama dalam bahasan kajian Fiqh dan Usul Fiqh dengan tema sentralnya maqasid syari’ah (orientasi syari’ah).

Mengingat ruang kajian maqasid syari’ah selalu dinamis, karena watak dari kelimuan fiqh yang memayungi bahasan hak asasi dan kemaslahatan manusia bersifat murunah (elastis), maka para intelektual muslim juga selalu mengkaji hak-hak asasi manusia sesuai dengan dinamika zamannya. Kajian ini seperti yang diadakan oleh al-Majlis al-Islamy di London pada tanggal 19 September 1981 dengan tema “al-Bayan al-Islamy al-‘Alamy li al-Huquq al-Insan”.(Pernyataan Islam Internasional Tentang Hak Asasi Manusia). Dalam pernyataan ini menjelaskan 23 butir focus hak asasi manusia seperti, hak hidup, hak kebebasan, hak persamaan, hak keadilan, hak individu untuk mendapatkan keadilan hukum, hak mendapat perlindungan dari siksaan, hak perlindungan dari represi kekuasaan, hak perlindungan atas kehormatan, hak suaka, hak minoritas, hak untuk berpertisipasi dalam ruang public, hak kebebasan berfikir, mengungkapkan pendapat, hak kebebasan beragama, hak berdakwah dan menyampai agama, hak ekonomi, hak kepemilikan, hak buruh dan kewajibannya, hak individual, hak membina rumah tangga, hak-hak istri, hak pendidikan, hak kebebasan menetap dan meninggalkan sautu negara. (Ridwan Sayyid, Ru’a Islamiyah Mu’asirah, 2001).

Anomali HAM

Dinamika perjalanan HAM setelah diproklamirkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, menjadi wacana dan issu internasional yang selalu hot. HAM yang semulanya bertujuan untuk menciptakan keharmonisan, mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara utuh agar terealisasi keselarasan antara sesama manusia di muka bumi ini, malah menjadi biang dari persoalan dan menjadi misiu problematika kemanusiaan secara berkesinambungan. Bahkan HAM telah berubah wujud menjadi agama dan ideology baru dalam pergumulan kepentingan dunia di era global. HAM menjadi alat kolonialisasi Negara-negara Barat untuk memporak-porandakan Negara-negara Islam. Dengan dalih hak asasi manusia, Barat sepertinya memiliki kamus tersendiri dan tafsir permanen tentang HAM, seakan kebenaran atas defenisi HAM menjadi kitab suci baru yang harus ‘diimani’ oleh negara-negara yang berpenduduk muslim. Ekspansi meiliter Negara Amerika Serikat dan sekutunya ke Afganistan, Irak dan mengintimidasi Iran menjadi contoh nyata, betapa HAM telah diperalat dan dinodai oleh kepentingan agama yang picik yang menanamkan kebencian terhadap Islam. Perdamaian Timur Tengah yang disebabkan oleh keangkuhan dan penjajahan bangsa Israel terhadap Palestina dan Negara Arab lainnya menjadi contoh lain dalam penegakan HAM. Dengan berdalih dan bersembunyi dibalik nama HAM, setiap hari harus ditebus oleh rakyat Palestina dengan jeruji penjara, air mata pengungsian, embargo ekonomi yang mengakibatkan penderitaan social dan tetesan darah. HAM yang diharapkan humanis, rujukan dalam membangun peradaban baru manusia, justru ambigu dan anomalik, sehingga dengan bertopeng HAM, Barat telah merubah wujud humanisasi hak asasi manusia sebagai galian kuburan masal ribuan manusia yang mati tanpa dosa.

Disinilah letak anomaliknya, wajah HAM yang teduh dan ramah untuk manusia dalam teoritiknya, berubah menjadi angkara murka di ranah realitas. Bahkan HAM selalu menjadi tameng dan rujukan ‘suci’ dari kebebasan yang tidak lagi mengenal batas, baik agama maupun budaya. Konsepsi HAM diterima dengan ‘lapang dada’ sebagai aturan public walau harus berbenturan dengan norma agama. Hal ini karena normativitas dan batasan agama dianggap menjadi urusan individu yang bersifat spesifik dan terbatas, sedangkan HAM dianggap lebih integral dan akomodatif. Akhirnya norma-norma agama terpenjara dalam kajian-kajian teoritik dan sebatas wacana tanpa harus dipraktikkan ke tengah realitas.

Saat ini, semua orang bebas mengekspresikan apa saja, walau asusila sekalipun. Seakan HAM hanya berporos menjadi makna kebebasan semata. Pelaku asusila bebas mempraktikkan prilaku asusilanya, para intelektual bebas berkoar walau menyalahi aturan permanen agama. Semua itu atas nama HAM. Jika demikian realitas HAM, maka kemarin kita memperingati kamatian HAM dan memboyong keranda-nya menuju tempat pemakaman. Wallahu’alam



Memaknai Kebebasan
Oktober 15, 2008, 3:56 pm
Filed under: Islam dan Politik

Adagium kebebasan dalam ruang kekinian seolah menjadi slogan setiap orang. Setiap individu sangat begitu gampang beralibi dengan nama kebebasan sekaligus berlindung dibalik layar bebas atas pelbagai aksi yang dilakukan. Gemuruh kebebasan bertalu seiring dengan gegap gempita reformasi di negeri ini. Dengan bertameng demokrasi, dan berkedok Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan menjadi semboyan yang selalu ny aring disuarakan oleh pelbagai kelompok dan komunitas. Genderang kebebasan seolah menjadi intisari dari demokrasi yang cenderung “diperkosa” pengertiannya menjadi bebas tampa nilai dan batas.

Agaknya, wacana kebebasan menemukan momentum pengikraran, sekaligus juga meretas ketidakpastian makna kebebasan itu sendiri. Semua pihak bersikukuh, bahwa perilaku, tindakan, pemikiran atau pemahaman keagamaan didasarkan pada asumsi kebebasan. Terjemahan kebebasan seolah melindungi semua faham keberagamaan walau harus bertabrakan dengan kode etik, atau kaidah-kaidah prinsip yang telah ditegaskan dalam suatu agama. Akhirnya, semua perilaku selalu merasa dilindungi oleh kebebasan. Goyang erotis artis dangdut, pornograpi, prostisusi, bahkan penistaan agama juga berargumentasi dengan ‘dalil’ kebebasan.

Jika merujuk kepada pengertian sederhananya, dalam bahasa Indoensia, kebebasan yang berakar kata dari bebas memiliki beberapa pengertian, seperti: lepas sama sekali, lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan takut, tidak dikenakan hukuman, tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan dan merdeka (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud,1990, 90). Pengertian etimologik ini tentu tidak memadai dan memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial. Karena, jika itu terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, etika maupun budaya. Keterikatan makna bebas dengan konsepsi keagamaan, etika dan budaya inilah membuat pengertiannya menjadi bias dan subyektif. Karena setiap agama dan budaya memiliki aturan dan norma yang mungkin berbeda sesuai titah yang direduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu. Agama Islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan (hurriyah). Dalam kitab al-Mausu’ah al-Islamiyah al-‘Ammah, kebebasan didefenisikan sebagai kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral. Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan. Pertama, kebebasan internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam kebebasan berkehendak (hurriyat al-iradah), kebebasan nurani (hurriyat al-dhomir), kebebasan jiwa (hurriyat al-nafs) dan kebebasan moral (hurriyat al-adabiyah). Kedua, kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah). Bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga, a) al-tabi’iyah, yaitu kebebasan yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat. b) al-siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah di berikan oleh peraturan per-undang-undangan. c) al-diniyah, kemampuan atas keyakinan terhadap pelbagai mazhab keagamaan.

Penerjemahan kebebasan dalam konsepsi keislaman seperti di atas jelas tidak di sepakati oleh kelompok “the other”. Hal ini karena rujukan dan norma yang dijadikan acuan sangat berbeda. Perbedaan tentang makna kebebasan inilah yang melahirkan perbedaan batasan, nilai dan cakupan dari ungkapan kebebasan tersebut. Hingga akhirnya, terjadi perang wacana terminologi antar pelbagai agama dan peradaban dalam mengakuisasi label dan defenisi kebebasan. Bahkan, tanpa disadari telah terjadi penindasan terhadap kebebasan itu sendiri. Muhammad Imarah, dalam sebuah karyanya “al-Ushuliyah Baina al-Gharb wa al-Islam” menulis, bahwa pelbagai istilah yang berkembang baik di kalangan masyarakat Timur maupun Barat, meskipun memiliki kesamaan dalam pengungkapannya, tapi berbeda dalam kandungan, latar belakang dan pengertian. Dan ini yang membuat kerancuan dalam pemakaiannya dalam budaya, politik dan dunia informasi modern sekarang ini.

Di antara istilah yang sama dalam pengungkapan, baik Timur maupun Barat adalah slogan kebebasan. Dalam perspektif HAM yang diproduksi Barat misalnya, kebebasan menjadi adagium yang bebas tafsir, bahkan cenderung bebas nilai. Akhirnya terjebak dalam kotak relativisme. Hal ini karena Barat menerjemahkan kebasan berstandarkan individual, al-fard mikyal kulla syaií. Individu adalah standar segala sesuatu. Meskipun, menurut Rifa’ah al-Tahtawi (1801-1872), kerinduan dan penamaan Barat terhadap kebebasan (hurriyah) merupakan inti dari keadilan dalam Islam. Karena, pengertian hukum kebebasan adalah menegakkan equallity (musawat) dalam hukum dan perundang-undangan yang menghapuskan tindakan kediktatoran penguasa terhadap setiap individu.

Walau dalam istillah kemungkinan adanya persamaan ucap antara Timur dan Barat, namun tetap saja meninggalkan persoalan yang sangat serius di ranah realitas. Hal ini terlihat, betapa kebebasan yang semestinya berorientasi untuk memerdekakan dan melindungi manusia secara individu maupun komunal, justru terkungkung dalam jeruji relativisme yang membuat sesuatu tidak beridentitas. Kebebasan yang dipropagandakan oleh dunia Barat menjadikan relativitas sebagai kelamin dan standar sebuah kebenaran, yang akhirnya berujung pada consensus. Jadi, kebenaran sesuatu diukur dari pendapat yang di “gandrungi” oleh publik, bukan dari keharusan yang harus dilakukan oleh mayoritas. Disinilah kritik Yusuf al-Qaradhawi terhadap kebebasan yang di hembuskan Barat. Menurut dia, kebebasan yang disusung oleh Barat bermakna penistaan. (al-hurriyah al-syakhshiyah fi al-gharb maknaha al-tasayyub). Setidaknya ada tiga persoalan, menurut Qaradhawi, yang harus dikritisi. Pertama. Bahwa Barat sangat peduli dengan kebebasan, demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara mereka, bahkan menjaganya dengan kesucian. Jika demikian, maka menjadi hak negara lain juga untuk melakukan kebebasan, demokrasi sesuai aturan undang-undang negaranya. Kedua. Jika masyarakat muslim melaksanakan kebebasan sesuai dengan anjuran Barat, terutama dalam ruang kebebasan individu, yang ruang tersebut sangat terbuka, maka kebebasan ini berarti bebas melakukan sesuatu sesuai dengan apa disukai bukan apa yang mesti dilakukan. Ini berarti tak ubahnya seperti hewan yang berbuat sesuai nafsunya, dan tidak berdasarkan akal dan hati nurani. Ketiga. Kebebasan Barat terkesan menghargai perempuan. Akan tetapi penghargaan Barat ini hanyalah kulitnya dan menistakan isinya (tahtarimu zahira, wa tamtahinu bathina).

Kritik terhadap konsepsi kebebasan yang diusungkan oleh Barat tersebut juga diungkapkan oleh sejumlah intelektual Islam. Dalam buku al-Hurrayah fi al-Qurán, Moh Abd Wahed Hijazy misalnya, mengungkapkan bahwa kebebasan dalam al-Qur’an (Islam) tidak akan pernah sama, alias sangat berbeda, baik ragam, bentuk, tingkat maupun orientasinya dengan kebebasan yang usungkan oleh pelbagai aliran sosial dan filsafat. Perbedaan mendasarnya terletak pada sumber kedua kutub tadi. Kebebasan dalam al-Qur’an bersumber daqri Allah SWT. Sedang kebebasan dalam konsepsi aliran sosial dan filsafat bertolak dari kreasi subjektifitas manusia. Unsur subjektifitas manusia tersebut berakar dari sifat khasnya yang egoistik, rakus bawaan dan oportunistik.

Dari sini jelas sudah, bahwa kebebasan yang sedang berkeliaran di negeri ini terserabut dari defenisi keagamaan. Kebebasan yang menggaung sekarang ini terjebak dalam kerangkeng relativisme yang tidak akan pernah menemukan titik simpul yang tuntas. Karena semua serba relativ. Ujug-ujugnya, timbul ungkapan “kebenaran hanyalah milik Tuhan”. Inilah ungkapan yang mungkin realitasnya sama dengan maksud ucapan khalifah Ali RA “kalimat al-haq, wa yuradu biha al-bathil” perkataan yang benar, tapi bermaksud sesat. Ungkapan “kebenaran hanyalah milik Tuhan” akhirnya menjadi jagalan bagi orang-orang yang mengobral demokrasi dan selalu bertutur tentang HAM. Dua istilah terakhir inilah yang kerap menjadi legitimasi kebebasan. Ahirnya Jika ini yang terjadi dan kemudian diabaikan, maka akan melahirkan kebebasan-kebebasan yang tidak lagi berpatok pada norma agama tapi berkiblat kepada nafsu hewani. Dampaknya, barangkali sudah sangat kasatmata dan sama maklum, seperti freesex, miras dan dekadensi moral.

Dari beberapa argumentasi di atas, penulis berkesimpulan bahwa kebebasan yang sebenarnya adalah ketidak-bebasan itu sendiri. Karena, tidak satupun perilaku yang terbebas dari aturan dan norma, baik yang bersifat ilahiyah (ketuhanan) maupun insaniyah (kemanusiaan). Adanya aturan terhadap sesuatu, merupakan “pengikat” yang menjadikannya tidak bebas. Artinya, kebebasan tidak mutlaq (lepas) tapi muqayyad (terbatas). Bukankah begitu? Wallahu’alam.