Ibnuharun


Paradoks Ritualitas Maulid SAW
Desember 5, 2016, 7:25 am
Filed under: Uncategorized

Hermanto Harun

 Muhammad bin Abdullah, itulah nama yang paling masyhur sejagad. Sebuah nama yang selalu paling popular dalam semua zaman, melebihi semua bintang, selebritis dan bahkan tokoh yang telah dan akan menjadi pigur manusia di atas bentangan bumi ini. Popularitas nabi Muhammad SAW seolah tidak pernah menemui kata penutup bagi tinta sejarah dalam merekam jejaknya. Segala tingkah laku, tutur kata dan perjuangannya senantiasa menjadi acuan dalam tindakan manusia. Rekam jejak nabi Muhammad SAW menitiskan keteladanan yang melampaui sekat kesukuan, kebangsaan dan bahkan keagamaan. Sehingga sampai hari ini, biograpi (sirah) nabi terakhir ini (khatam al-nabiyin) paling banyak ditulis oleh umat manusia. Ragam tulisan biograpi nabi Muhammad SAW mencakup semua dimensi dan sudut pandang keilmuan, baik ekonomi, sosial, politik, budaya dan kemanusiaan. Dengan demikian, Anis Mansur, pemikir sekaligun budayawan Mesir, menoreh judul buku-nya A’zam al-Khalidin (pembesar-pembesar yang abadi) dengan menempat sosok nabi Muhammad sebagai pembesar pertama di antara nama pembesar dunia lainnya. Kebesaran nabi Muhammad, menurut Anis, karena beliaulah satu-satunya manusia di jagad ini yang paling sukses, baik pada tatanan keagamaan maupun keduniaan. (Anis Mansur, 2005, 7).

Pelbagai karya tentang kepribadian nabi Muhammad SAW itu tidak hanya digoreskan oleh para ulama Islam yang notabene-nya pemangku warisan risalah beliau. Akan tetapi, ada cukup banyak karya yang diukir oleh kurir tinta pengingkar dan oposisinya. Hilal Gorgun dalam website lastprophet.info, mencoba merekam banyak karya para orientalis yang mencoba menganalisa sosok Rasul tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul ”The Orientalist View of Prophet Muhammad” Gorgun menyebutkan karya Montgomery Watt ”Muhammad at Madina”, yang menjelaskan bahwa sebagai tokoh besar dalam sejarah, nabi Muhammad adalah tokoh yang paling banyak dicemari namanya. Masih banyak lagi karya orientalis tersebut seperti Refutation du Coran Confutatio Alcorani yang ditulis oleh Nicetas Byzantium pada abad ke 9 M, juga Chronographia yang ditulis oleh  Theophanes (758 – 816).

Ragam perspektif, motif dan bahkan keyakinan perbagai penulis dan sejarawan, telah memeriahkan sekaligus memperlengkap catatan-catatan kepribadian Rasulullah tersebut, sehingga wujud nabi Muhammad SAW yang telah sirna dari alam fana, seolah dapat diilustrasikan kembali dalam kenyataan. Gambaran kepribadian Rasul selalu menjadi rujukan yang dirindu kehadirannya dalam segala ruang waktu dan zaman. Sehingga semua problematika kemanusiaan sampai hari ini, bahkan untuk masa mendatang, seolah telah terakomodasi dalam sabda Rasul. Dinamika kehidupan manusia dalam lintas waktu, rasanya sangat sulit untuk tidak menoleh kepada perilaku nabi Muhammad, karena sosok kenabian dan kerasulannya mamang telah dipersiapkan oleh Pengutusnya (Allah SWT) untuk menjadi problem solver, pengayom dan penerang bagi kehidupan anak cucu Adam. Disnilah letak relevansi jawaban Aisyah RA ketika ditanya oleh para sahabat tentang perilaku Rasulullah, seperti apakah akhlak nabi Muhammad SAW itu? dengan bahasa yang lugas, Aisyah mengungkapkan ”kana khuluquhu al-Qur’an” (akhlaknya adalah al-Qur’an), sebagimana juga termaktub dalam firman Allah SWT ”wainnaka la’ala khuluk azlim”.

Dalam bingkai keindonesiaan, bincang tentang keteladanan Rasul SAW sudah menjadi bagian dari ritualitas budaya yang telah berurat berakar. Bulan Rabiul Awal seakan terhipnotis oleh ritual maulid yang tidak boleh absen dari agenda tahunan umat, bahkan telah menjadi ritual beberapa negara yang berpenduduk mayoritas muslim, sehingga pada tanggal 12  Rabiul Awal dijadikan hari cuti nasional.

Tentu dalam perspektif keagungan seorang utusan Tuhan, pengadaan pelbagai ritual hingga keputusan cuti nasional sebagai perlambangan akan cinta kepada baginda Rasul, rasanya juga belum sangat memadai, karena perjuangan nabi Muhammad SAW tidaklah sebanding dengan formalisme cuti tersebut. Bahkan, seremoni peringatan maulid justru tidak jarang mengaburkan substansi perjuangan dan risalah yang dibawa beliau, baik dalam realitas kemanusiaan maupun dalam bingkai kerasulan. Dalam bingkai kemanusiaan, misalnya, bagaimana sikap Rasul yang sangat care terhadap eksistensi manusia, bahkan sampai kepada jasad manusia sekalipun. Seketika jenazah seorang Yahudi melintas dihadapannya, maka Rasul berdiri sebagai penghormatan atas jasad manusianya.

Dalam perspektif kerasulan, ada banyak hal yang sangat urgen untuk ditelaah kembali dalam kegiatan seremonial maulid al-rasul. Seremonial maulid yang sejatinya tidak semata ritualitas yang pada akhirnya terjerumus kepada pengkultusan dan bahkan cenderung taqlid buta kepada budaya, adat istiadat dan bahkan meniru ritual agama selain Islam, merupakan kecelakaan sejarah dalam menerjemahkan pesan kerasulan Muhammad SAW. Pesan maulid yang seharusnya merekatkan kembali pemahaman parsialitas masyarakat tentang Islam, justru semakin samar. Kesan maulid di tengah masyarakat hanya tercitrakan dengan koor syair-syair kitab barzanji yang ditulis oleh ulama asal Kurdistan (al-barzanjiyah) yang bernama Sayid Ja’far bin Husain bin Abdul Karim al-Barzanji.

Kitab Barzanji yang berjudul asli “I’qd al-Jawhar fi Mawlid al-Nabiy al-Azhar” karangan ulama kesohor tesebut, isinya sangat bersentuhan dengan kehidupan Rasul, baik hikayat beliau dilahirkan, keluarga sampai kepada akhlak moral. Namun, sangat disayangkan, bait-bait syair indah dalam kitab tersebut hanya sekedar lantunan hiburan yang miskin akan makna spritualitasnya. Penerjemahan seremoni maulid ke dalam ruang ”ritualitas” sangat mungkin merupakan bagian dari parsialitas pemahaman Islam tadi, karena keberkesanan hari kelahiran Rasul seolah bentuk lain dari perayaan ”happy birth day” walau dipoles dengan irama verbalistas religius. Padahal, substansi dari perayaan maulid, selain aktualitas cinta secara verbal, mengenang kepribadian dan perjuangan Rasul, juga bagaimana menerjemahkan ketauladanan pribadi beliau ke dalam segala dimensi kehidupan manusia kekinian.

Bertolak dari fakta tersebut, akhirnya para ulama berbeda pendapat tentang perayaan ”ritual” maulid Nabi. Dari yang berdapat sangat literal sampai kepada asumsi rasional, dari yang beragumen bid’ah hingga yang berasumsi sunnah. Misalnya, Ibn Hajar berasumsi bahwa perayaan maulid belum dikreasikan pada era pertama Islam, sedangkan  Jalal al-Din al-Suyuthi berasumsi bahwa seremoni maulid sudah ada semenjak kelahiran Rasul. Dengan hujjah bahwa kakek baginda nabi, Abd al-Muthalib dan nabi sendiri merayakannya sebelum era kerasulan. Pendapat lain dari Abd Rauf Uthman, yang menyuguhkan bahwa perayaan maulid ”dipatenkan” oleh penguasa Dinasti Syiah Fathimiyyah di Kairo sebagai media aproac kepada rakyat. Namun ada juga yang berasumsi bahwa perayaan maulid berawal dari inovasi Shalahuddin al-Ayubi sebagai injeksi ruh jihad kepada prajuritnya dalam menghadang pasukan salibis.

Terlepas dari mana yang paling benar dari pendapat di atas, yang jelas semua sepakat bahwa kepribadian Rasul sebagai uswah hasanah telah diabadikan Tuhan dalam al-Qur’an. Uswah hasanah tersebut jelas tidak tereliminasi dalam ranah yang sempit, parsial, apatahlagi harus terkungkung dalam wilayah seremonik. Hal ini selaras dengan argumen Said Hawwa dalam bukunya al-Rasul, yang menjelaskan empat sifat esensial para Rasul itu. Pertama, kejujuran mutlak yang tidak akan pernah dibatalkan dalam kondisi apapun. Karena itu, ungkapan para Rasul akan selalu bersenyawa dengan ranah realitas. Kedua, sikap konsistensi yang total terhadap apa yang  telah diperintahkan oleh Sang Pengutusnya. Dari sini, perilaku seorang Rasul sangat mustahil keluar dari rule yang telah digariskan Tuhan. Ketiga, kontinuitas peyampaian kandungan al-risalah (wahyu) secara integral walau harus menghadapi pelbagai tantangan. Keempat, kecerdasan yang brilian, karena penyampain wahyu akan mangalami stagnasi jika tidak sepadan dengan rasionalitas umat. Semua muwasafat (karakteristik) Rasul ini merupakan elemen dasar dari kepribadian Rasul dengan tanpa mengesampingkan karakteristik yang lain.

Jadi, peringantan maulid yang telah menjelma menjadi ritual tersebut, jelas bukan sekedar menceritakan keindahan pisik Rasul, keanggunan akhlak, kepiawaian kepemimpinan, dan keagungan risalah yang dibawa oleh beliau, akan tetapi semestinya semua itu menjadi cermin bagi umatnya dalam mengaca perilaku kehidupan. Sudahkan ritual itu menjadi standar keberagamaan yang selalu dievaluasi, atau hanya lipstik dari ungkapan bibir yang tidak pernah beriringan dengan kebijakan perilaku keseharian kita?jika belum, maka ritual maulid hanya drama paradoksal yang dipentaskan di panggung dusta. Nauzubillah! Wallhu’alam.

 

Dosen Pascasarjana IAIN STS Jambi.



Siuman Cendekiawan Jambi (Sebuah Catatan Pelantikan ICMI Orwil Jambi)
Desember 5, 2016, 7:21 am
Filed under: Uncategorized

Hermanto Harun*

Ketika dihubungi untuk bergabung dalam kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Wilayah Jambi (Orwil) periode 2015-2020, terkenang sejenak semasa kuliah di Universitas al-Azhar Kairo, dimana ketika itu sempat “digambleng” dalam suatu acara pengkaderan yang dilaksanakan para ‘senior’ ICMI Orsat Kairo. Saat itu, belum terpikirkan apa kegunaan pelatihan dan gamblengan yang penuh idealisme tersebut, karena toh status ketika itu sudah menjadi seorang mahasiswa di perguruan tinggi keislaman tertua di dunia. Dengan pikiran ‘lugu’ itu berkesimpulan, bahwa pada diri setiap mahasiswa di kampus dengan label keislaman sudah pasti menyandang status inteletual dan cendekiawan muslim.

Bayang gamblengan di bumi nabi Musa dan Yusuf itu, seolah kembali menyeruak, merefresh bongkahan idealisme yang sudah seperti “batang terendam”, dan berserakan dalam aliran catatan-catatan sungai cita, yang mengalir mengikuti arus zaman yang takberujung. Kini, penobatan status sebagai cendekiawan kembali menantang, menuntut kecendekiaan itu dirumuskan dalam menyuplai gizi ‘izzah’ umat yang sudah nyaris kehilangan kemuliaannya di mata umat lain. Terlebih lagi saat ini, dimana realitas umat sedang tercerai berai, luluh lantah dibawah cengkraman hegemoni musuh-musuh abadinya.

Fakta realitas umat hari ini, sebenanrya juga tidak jauh berbeda dari zaman dimana ICMI dilahirkan. Dalam kilas sejarah lahirnya, ICMI hadir sebagai demontrasi identitas sebagai jawaban atas asumsi yang menuduh bahwa umat Islam itu selalu terbelakang, jumud dan hanya penonton di gelanggang sendiri. Ibaratnya, hanya mayoritas dalam jumlah, minoritas dalam politik. Dari itu, ICMI mengurai perspektif cendekiawan yang berarti memiliki sikap dan visi intelektual yang mengatasi batas-batas disiplin, yang memiliki komitmen kuat pada kemanusiaan, harkat, nilai-nilai, aspirasi dan hati nurani yang memiliki sikap kritis dan mandiri. Pemaknaan cendekiawan itu kemudian di ta’rif-kan dalam ART ICMI, yang secara jelas menyebutkan bahwa cendekiawan muslim itu adalah orang Islam yang peduli terhadap lingkungannya, terus menerus meningkatkan kualitas iman dan taqwa, kemampuan berpikir, menggali, memahami dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kehidupan keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk diamalkan bagi terwujudnya masyarakat madani

Dalam istilah umumnya, cendekiawan itu disamakan juga intelektual (intellectual) yang dalam bahawa Arab disebut juga sebagai mutsaqqaf yang berarti seorang yang terpelajar (muta’alim) yang memiliki banyak wawasan tentang ilmu pengetahuan. Defenisi ini seolah memiliki hubungan yang utuh dengan istilah ulama, tapi entah kenapa dalam penamaannya ada perbedaan. Namun, terlepas dari penamaan itu, isitlah mustaqqaf sudah cukup berat untuk disandang, mengingat tuntutan jutaan aspirasi umat sudah antri menunggu jawaban. Pelbagai pertanyaan umat sudah disuguhkan kepada para cendekiawannya untuk dikuliti secara detail. Kegelisahan umat atas kenyataan mereka yang ‘terpinggirkan’ tersebut menjadi pekerjaan rumah yang sangat  berat bagi para intlektual untuk menyelesaikannya.

Tugas para cendekiawan (mutsaqqaf) memang tidak ringan, karena beban problematika umat yang terasa belum beranjak dari masalah klasiknya, yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Masalah klasik dan ‘kronis’ dalam tubuh umat ini pernah ditanyakan sekitar seratus tahun silam (1348 H) oleh seorang ulama Melayu asal Borneo Banjar, yaitu Syaikh Muhammad Basyuni Amran yang mengajukan dua pertanyaan besar kepada kepada Syeikh Amir Syakib Arselan dan memohon kepada Syeikh Rasyid Ridha untuk memuat jawabannya di Majalah al-Manar yang terbit di Mesir. Dua pertanyaan besar itu, pertama, apa yang menyebabkan umat Islam lemah dan terbelakang (inhitath) baik dalam urusan dunia maupun agama secara berbarengan, khusunya umat muslim di Jawa dan Melayu? Kedua, mengapa bangsa Eropa, Amerika, Jepang lebih maju dan bisakah umat Islam maju seperti mereka tanpa kehilangan identitas agamanya?

Dua pertanyaan besar yang hampir seabad tersebut terasa masih mengiang diruang kekinian dan kedisinian para cendekiawan muslim, juga masih terasa sangat relevan untuk dieja kembali bait-bait kalimatnya. Kehadiran ICMI merupakan panggilan jiwa dalam mengurai kusut problematika umat yang kronis tersebut. Geliat gerakan ini merupakan ledakan kaum terdidik (intelectual booming) yang dengan ragam kefakarannnya mencoba berkontribusi kepada bangsa dengan identitas khas muslim yang terdidik dan cendekia.

Atas panggilan nurani kecendikaan itulah, status cendekiawan yang sekaligus muslim tersebut perlu diartikulasikan. Menurut Ibrahem al-Shafei, ada tiga peran besar peran cendekiawan Muslim tersebut. Pertama, menyebarkan wawasan dan nilai-nilai Islam yang utuh serta membangkitkan sensitifitas umat terhadap segala problematika kekinian, juga memberi pencerahan tentang orisinilitas wawasan Islam dan membedakannya dengan produk ‘inpor’. Selanjutnya, seorang cendekiawan bertanggung jawab untuk mengangkat ‘sensitfitas’  umat agar dapat memainkan peran peradabannya, dan tetap dalam kerangka terintegrasinya wawasan keislaman dan politik. Kedua, seorang cendekiawan harus tetap selalu kritis terhadap pelbagai persoalan sosial dan  politik sesuai karakteristik kefakarannya, Sikap kritis tersebut sebagai upaya objektif dan konstsruktif untuk beradaptasi dengan dinamika perkembangan zaman dan pembaharuan. Ketiga, seorang cendekiawan adalah jubir umat yang membela kemaslahatan mereka. Cendekiawan harus “membumi”, tidak boleh hanya duduk di menara gading. Tugas berat kecendekiaannya terletak dalam komitmennya (iltizam) kepada nilai-nilai moral dan keagamaan, sehingga memiliki integritas dihadapan umatnya.

Pelantikan ICMI Orwil Jambi periode ini, agaknya sedikit spesial, setidaknya dalam konteks ke-Jambian dan ke-Indonesiaan. Waktu pelantikan ICMI Orwil Jambi yang tidak begitu jauh dari pelantikan Zola-Fachrori sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi, setidaknya menjadi momentum untuk bersinerginya kekuatan kaum intlektual dengan pemangku kekuasaan. Karena, ketika penguasa yang merepentasikan logika ototritas bersatu dengan kaum intlektual yang mewakili otoritas logika, berarti bersatunya antara kekuatan dan kebenaran. Jika dua kekuatan ini akur dan sinergis, maka arah kebijakan penguasa akan lebih terukur dan terarah sesuai prioritas kepentingan umatnya.

Dalam perspektif ke-Indonesiaan, ICMI lahir dari takdir sejarah umat yang berada dalam posisi ‘marginal’. Kondisi umat Islam hari ini, tanpaknya tidak begitu berjarak dengan keadaan masa lalunya. Meskipun euforia kebebasan politik ternbuka dan memberi peluang kepada umat untuk meminpin, namun fakta realitasnya, umat Islam masih terseok dan bahkan tertatih dalam mencari peluang untuk memujudkan negeri ini sebagaimana representasi mayoritas. Umat Islam masih tersudutkan oleh pelbagai opini tentang terorisme, radikalisme dan ekstrimisme. Semua prilaku minus tersebut seolah selalu bergandengan dengan identitas Islam. Padahal, secara normatif, agama Islam semenjak awal sudah mengjarkan perilaku moderat dalam segala aspek kehidupan.

Dengan pelantikan kepengurusan ICMI Orwil Jambi masa ini, sepertinya kaum cendekia Jambi sudah siuman setelah sekian lama vakum dalam ketidakjelasan. Semoga pelantikan periode ini adalah sebuah keinsyafan berjamaah atas absennya kaum intelektual dalam mengayomi umatnya. Jangan sampai berkumpulnya para cendekiawan Jambi hanya sebuah parade selebrasi. Jika begitu, maka tepatlah kata petuah adat, “banyak guru doa dak selesai, banyak tukang rumah dak jadi”. Semoga tidak! Berjayalah ICMI. Wallahu’alam

*Dosen Pascasrjana IAIN STS Jambi, Pengurus ICMI Orwil Jambi 2015-2020

 

 

 



Menegaskan Identitas Ulama
Desember 5, 2016, 7:17 am
Filed under: Uncategorized

Menegaskan Identitas Ulama

Hermanto Harun*

Baru-baru ini, ada peristiwa yang cukup istimewa bagi tradisi keilmuan Islam di Jambi, dimana tradisi keilmuan seperti itu hampir sudah jarang terdengar dalam budaya ulama di tanah Melayu ini. Peristiwa istimewa yang laik direkam sejarah tersebut terangkum dalam acara “Silaturrahim Ulama dan Pimpinan Pesantren Se-Provinsi Jambi” yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Modern al-Hiayah (PPM al-Hidayah) Pal 10, (9/12/2013). Keistimewaan acara tersebut bukan hanya terletak pada upaya sinergisitas dan penyamaan persepsi ulama tentang solusi penyelesaian problematika umat, namun juga terjadi munazarah (sharing) dalam bahtsul masa-il yang membahas pelbagai permalasahan keumatan, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun mu’amalah (sosial).

Selang sehari berikutnya, (10-12/12/2013) penulis juga menghadiri acara forum ulama yang sangat prestise, dimana Majlis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi mengadakan Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) yang bertempat di Gedung MUI Provinsi Jambi. Acara ini menjadi lebih bergengsi mengingat para peserta merupakan pentolan ulama yang mewakili setiap daerah kab/kota dalam Provinsi Jambi, seperti Buya Abd Sattar dari Merangin, Buya Halim Qasim dari Tungkal, Prof Suhar dari Sarolangun, Dr Husein Wahab dari Kota Jambi dan sederet nama lainnya.

Meski terkesan sederhana, acara yang mengusung tema; Pemantapan Program, Konsilidasi Organisasi dan Perbaikan Akhlak Bangsa, Pemberdayaan Ekonomi Umat Menuju Jambi Emas 2015, merupakan perhelatan rutinitas yang cenderung seremoni. Namun, berkumpulnya ulama Jambi dalam rumah MUI ini tentu memiliki banyak makna, dan menyimpan harapan besar umat, mengingat kontribusi ulama sangat diharapkan, bukan hanya terhadap persoalan ubudiyah, namun juga dalam merespon tantangan zaman yang selalu dinamis dan berkembang.

Kedua ‘gawe’ ulama seperti dalam perhelatan di atas, sekilas menjadi signal akan adanya ketersambungan harapan umat melalui peran aktif para ulama terhadap dinamika kekinian, terutama yang berhubungan dengan persoalan sosial keagamaan. Hal ini menjadi sangat penting, karena ulama nyaris dianggap absen dari dinamika itu, bahkan terkesan terisolir dari peran otoritas sosial yang semestinya.

Padahal, keberadaan ulama dalam dinamika kehidupan masyarakat muslim, menurut Thoha Hamim, secara sosiologis dituntut kehadirannya memberi legitimasi teologis terhadap totalitas kehidupan umat. Ulama yang kemudian menjelma menjadi kelompok elit agama dalam realitasnya seringkali mengendalikan kehidupan masyarakat muslim, dan kemudian dengan keahlian mereka dalam bidang ilmu keagamaan Islam, memerankan elit agama ini menjadi regulator bagi segala dimensi kehidupan, mulai dari moral, pendidikan, ekonomi, hukum sampai sosial budaya.

Dalam perspektif keimanan Islam, wujud aktif ulama ditengah umatnya merupakan pewaris tahta para nabi (QS Fatir 28). Dari itu, para ulama memiliki kewajiban laiknya tugas para Rasul dalam menyampaikan risalah (ajaran) mulia agama, dan selanjutnya mengimplementasi nilai-nilai mulia itu dalam kehidupan nyata, sesuai perintah dan praktek yang telah dilakoni para Rasul yang tersimpan dalam sabdanya “ballighu ‘anni” (sammpaikan dariku) meskipun hanya satu pesan (ayat).

Dari sinilah kemudian, Imam al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya ‘Ulumuddin memberi analogi relasi ulama dengan umatnya bak seperti tongkat dengan banyangannya (al-‘ud wal al-zil) atau seperti kanvas tanah dengan lukisan. Perumpamaan ini jelas sekali menggambarkan bahwa, kondisi sosial keagamaan masyarakat saat ini merupakan potret dari entitas ulama-nya. Ulama seolah tongkat yang tentu akan memberi efek banyangan, yang bagaimana mungkin bayangannya akan lurus, jika tongkatnya bengkok.

Ilustrasi relasi ulama dan umatnya seperti gambaran al-Ghazali tersebut sepertinya cocok dengan realitas kekinian sekaligus juga menggelitik. Berbagai persoalan umat saat ini, mulai persoalan kemiskinan, pornografi, korupsi dan juga kerusakan moral lainnya, seolah menegaskan kembali bahwa absennya ulama menjadi suatu sebab akutnya problematika sosial masyarakat .

Dari sini kemudian, wujud MUI menjadi signifikan dan absah, karena dianggap refresentasi ulama yang lintas sektoral, yang mewakili pelbagai komunitas institusi keumatan yang hidup ditengah masyarakat. Akan tetapi, ketika identitas keulamaan itu menyatu dalam komunitas dan terlembaga, kadang menimbulkan pelbagai pertanyaan yang agak musykil, seperti standar kualifikasi apa yang bisa memberi label keabsahan seseorang itu bisa “dianggap” ulama? Selanjutnya otoritas apa yang dimiliki para ulama itu sehingga klausul rekomendasi Rakor itu bisa direalisasikan dan bersinggungan langsung dengan kebutuhan umat?

Beberapa pertanyaan sederhana tadi yang kemudian menggelinding ke permukaan publik, menggelitik untuk didiskusikan dan dicari jawabannya secara bijaksana. Munculnya pertanyaan tersebut, hemat penulis, setidaknya karena beberapa persoalan; Pertama, ketidakjelasan proses regenerasi dan rekrutmen anggota MUI itu sendiri. Juga, proses pengkaderan ulama yang masih sangat kabur, sehingga efek berikutnya mengaburkan kualifikasi kepantasan menyandang gelar keulamaan itu. Sebagai akibatnya, identitas MUI sendiri sebagai lembaga yang menamakan diri institusi (majlis) ulama masih bisa dianggap bermasalah dan bahkan mungkin diragukan. Jika demikian, maka output kerja dan hasil Rakor MUI bisa mentah sekaligus cacat etika, karena jika identitas awalnya sudah bermasalah, jelas produksi hasilnya juga bermasalah.

Kedua, ketidakjelasan status MUI dalam sistem kenegaraan, yang mengakibatkan lemahnya otoritas yang dimilikinya. Sepintas, keberadaan MUI hampir sama dengan Institusi Fatwa (Dar al-Ifta) yang ada di berbagai negara muslim. Namun, posisi MUI dalam sistem negara berbeda dengan Institusi Fatwa tersebut, karena Institusi Fatwa seperti di Malaysia misalnya, diakui sebagai bagian dari stuktur negara, sehingga memiliki otoritas dan wewenang di bidang fatwa yang selanjutnya direalisasikan oleh negara. Lain halnya dengan MUI yang keberadaannya mirip dengan Ormas keagamaan yang tidak lebih sebagai lembaga “moral” sehingga tidak memiliki posisi yang jelas dalam struktur negara. Konsekuensinya, keberadaan MUI penuh dilema, wujudnya tidak begitu penting, namun ketiadaannya bagitu dirindukan. Ketidak-pastian status MUI ini menempatkannya pada posisi “muzabzab” yang seringkali membuatnya tidak berdaya, tidak independen yang ujungnya hanya menjadi stempel legitimasi kekuasaan, karena posisinya sebagai tangan dibawah yang terkesan “memelas” dari kebijakan pemerintah.

Dua persoalan musykil terhadap identitas ulama tadi, semestinya menjadi perhatian bersama sebagai warga negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Karena perhelatan ulama seperti dalam dua kegiatan tadi, paling tidak sudah menunjukkan bahwa para ulama dan intitusi keagamaan tidak absen dari realitas problematika sosial umatnya. Dan sudah seharusnya pula, ulama menjadi penentu kebijakan dalam kerangka mencari formulasi kemaslahatan umat dan negara. Bukankah selama ini, ulama menjadi bagian dari pengurai berbagai krisis ditanah air, seperti ungkapan Fahmi Huwaidi, al-ulama mafatih al-azamat (ulama sebagai kunci penyelesaian krisis), bukan seperti “daun salam” dimasukkan ke dalam masakan hanya untuk penikmat rasa, selanjutnya dibuang ketika mau disantap.Wallahu ‘alam.

Jambi Ekspress, 13 Desemebr 2013



INADA Tanpa Irama
Desember 3, 2016, 10:06 am
Filed under: Uncategorized

H. Hermanto Harun, Ph.D*

Semenjak Haflat al-Takhrij tahun 1996, status kesantrian saya di Pondok Modern Darul Muttaqein otomatis selesai. “Kesantrian” disini tentu dalam batasan formal sesuai jenjang pendidikan yang berada di Darul Muttaqien, bukan status saya sebagai ‘murid’ bagi para asatiz yang pernah mengajarkan saya dii lembaga Islam  di Cadas itu.

Sebagai santri yang telah mengkhatamkan pengajian di lembaga DM ini, sudah pasti status saya adalah sebagai  alumnus yang tergabung dalam ikatan alumni yang bernaung dalam identitas Inada. Status keanggotaan saya di Inada ini merupakan fakta sosial, yang “mau tidak mau” harus saya terima, mengingat saya menamatkan pedidikan di lembaga ini secara sah dan tidak pernah melakukan kesalahan yang dianggap keluar dari norma DM.

Nah, dalam beberapa kali silaturrahim saya ke kampus DM Tangerang ini, obrolan kawan-kawan, khususya angkatan ke II (LEGIS), persoalan Inada menjadi tema menarik, karena Inada ibarat mati suri, yang tubuhnya ada, tapi ruhnya mati. Inada seolah seperti perahu yang tanpa dayung atau kapal tanpa petunjuk arah. Arah Inda yang semulia diharapkan menjadi jembatan penghubung komunikasi antara alumni, sekaligus sebaga wadah silaturrahim khiirrijin untuk menyatu menjadi kekuatan sosial, agak masih sangat sumir. Cita ideal Inada itu agaknya masih menjadi mimpi dalam tidur nyeyak para alumni, sehingga entitas sosial Inada belum mampu untuk menyatukan persepsi para alumni tentang kemana arah bahtera Inada akan berlabuh.

Sebenarnya, wujud Inada merupakan entitas strategis kapiatalisasi massa dalam menapaki cita  bersama alumni di ruang publik. Massa Inada sangat mungkin untuk menjadi modal capital dalam semua segmentasi gerakan sosial, ekonomi bahkan gerakan keagamaan. Apatah lagi, corak budaya dan latar daerah mayoritas alumni berasal dari daerah kawasan Tangerang yang tidak jauh dari almamaternya sendiri. Kemudian, wujud Inada juga mutlak menjadi identitas almamater. Keberadaan Inada boleh dijadikan cermin dari kampus Darul Muttaqien yang bercorak “modern” itu. Dari sini, keterukuran modernitas Darul Muttaqien, baik disiplin, kualitas pendidikan dan pengajaran dan identas lain yang bercorak ‘kepondokan’ bisa diditeksi. Dengan demikian, tanpa slogan “modern”pun, kampus Darul Muttaqien sudah bisa dinominasikan ke dalam lembaga modern, karena kiprah para alumninya di tegah masyarakat.

Jika asumsi tadi benar, sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas, tentu pendapat semua alumni telah “ijma”, bahwa wujud Inada bagi Darul Muttaqien begitu signifikan. Maka, sebagai alumni yang bertanggung jawab, sekaligus memiliki nasab moral dan keilmuan dengan Inada, di sini izinkan saya mengukanpkan beberapa pandangan:

Pertama, sesuai dengan niat dan orientasi ikatan alumni yang karakternya hampir sama di setiap almamater, maka Inada jelas tidak terpisah dari cita idealisme Darul Muttaqien. Ini berarti, kampus DM menjadi nadi gerak Inada sekaligus sebagai sentral komunikasi alumni. Untuk mewujudkan ini, maka ‘penguasa’ almamater jelas sangat perlu mempertimbangkan ‘fasilitas’ tersebut, walau hanya sekedar formalitas. Hal ini bukan hanya sebagai demontrasi identitas, namun lebih dari itu, dapat menyambung emosionalitas sekaligus ukhuwah antara alumni agar sama-sama terhipnotis dan kemudian merasa memiliki oleh Inada.

Kedua, kebaradaan Inada jelas bukan hanya ‘ngumpul’ untuk ajang futsal dan haulan—sebagaimana undangan yang sering saya dapatkan di Medsos —namun, greget Inada harus lebih jauh mengembang sayapnya, agar jejering alumni bisa dimanfaatkan lebih maksimal, apatah lagi bagi alumni yang berada di luar Jabodetabek dan di luar pulau pulau Jawa. Jejaring alumni yang semula hanya bermuara pada silaturrahim, seharusnya bisa lebih menggali potensi sebagai chanel untuk kepentingan-kepentingan strategis, baik dalam aspek politik, sosial dan keagamaan. Untuk menuju ke arah itu, maka potensi Inada harus digali dan kemudian disinergikan, agar kiprah alumni bisa menyumbangkan ‘sum’ah’-nya kepada almamater.

Ketiga, sesuai dengan watak almamater yang bergerak dibidang pendidikan keagamaan, bukan lembaga kursus, pelatihan dan keahlian, semestinya Inada menjadi lokomotif dalam merangsang ‘budaya ilmu’. Ini artinya, rekam jejak alumni dalam pendidikan sangat perlu menjadi suplemen nutrisi dalam menggenjot para alumni untuk berpendidikan ke strata yang lebih tinggi. Bahkan, syabakat al-khirrijin (jejaring alumni) sangat perlu untuk dijadikan mediasi dalam meningkatkan kafa’ah ilmiyah, sehingga magnetisme kualitas pendidikan di kampus DM dirasakan, bukan hanya dipromosikan. Hemat penulis, ruang ini bisa menjadi prioritas, sebab, ada kecendrungan alumni DM hanya dicetak untuk sekedar mendapat status sebagai karyawan pabrik, dan–paling banternya–sebagai guru di pendidikan dasar. Sebuatan kedua job ini sama sekali tidak untuk mendiskreditkan profesi tersebut, namun, jika hanya untuk cita itu DM berdiri, maka tentu sangat minimal, karena ada profesi lain yang masih membuka kesempatan dan ruang kepada para jebolan DM.

Kenyataan ini tentu meggusarkan, bahkan memprihatinkan, sebab cita ideal DM adalah mencetak para ilmuan yang siap menggunakan “kunci” yang dibekali semasa nyantri di DM, untuk membuka cakrawala dunia sekaligus siap beradaptasi dengan dinamika global. Penerjemahan pemberian kunci pengetahuan itu,, semestinya diartikulasikan menjadi ‘social engeneering’ bagi para alumni, karena, wujud sukses dan berhasilnya sebuah lembaga pendidikan, tidak terletak dari kuantitas seberapakan jumlah alumni yang menamatkan studi di lembaga tersebut, namun sejauhmanakan pemanfaatan alumni bisa direspon umat. Jika bercermin dari sini, maka patut untuk kita menengok ke rumah DM kita, bagaimana cita ideal itu dibandingkan dengan fakta realitasnya? Masih terasa complang dan menjarakkah? Atau asumsi “modern” itu perlu di muraj’ah? Apatah lagi jika dilihat dari statisitik jumlah alumni yang meneruskan jenjang pendidikan profesi yang sedang mereka geluti.

Sebagai alumni yang lumayan kenyang dengan ‘doktrin’ dan keistimewaan ilmu di kampus DM, kenyataan di atas harus disikapi dengan serius, sambil terus tafakur dan selalu menjaring komunikasi, agar alumni DM juga layak untuk disebut sebagai alumnus dari pondok modern yang ada di kota metropolitan. Alumni DM sangat layak untuk dituliskan dalam arca sejarah tokoh di Tengerang, bahkan sebagai lembaga yang tidak hanya berkelas lokal, namun juga bergengsi sebagai pondok modern yang bertengger di rangking nasional. Akankah semua itu masih dalam wacana, yang hanya melahirkan Inada tanpa irama. Lantas, faman yaduqqul jaras? wallahu’alam.

*Alumni DM Angkatan II (1996).



Bisikan-mu yang Mengigaukan (Persembahan untuk Pak Kiyai)
Desember 3, 2016, 10:00 am
Filed under: Uncategorized

 “Safir tajid iwadhan ‘amman tufaariquhu..”Sebait dari kumpulan syair yang dilontarkan Imam Syafi’i seribu tahun lebih itu, menjadi materi sangat mengesankan, yang saya dapati pertama kali dalam al-dars al-mahfuzat ketika nyantri di Darul Muttaqien, Cadas, Tangerang. Bait syair indah tersebut menjadi energi ‘dahsyat’ pertama dalam pengembaraan mengais ilmu di negeri nun jauh di perantauan. Langkah pengembaraan ilmu yang akhirnya berlabuh di kampus Darul Muttaqien, Cadas, menjadi jawaban dari rahasia taqdir atas mesteri masa depan yang senantiasa membuncah dalam singgasana cita-cita. Meskipun, sejujurnya, kampus pondok Modern ini bukanlah tujuan awal di saat pergi meninggalkan kampong halaman dari Jambi ketika itu.

 Ada perasaan gugup, cemas bercampur haru, ketika tapak kaki pertama kali menginjak bumi almamater tercinta. Bagaimana tidak, tempaan budaya “budak dusun” yang berasal dari provinsi tengah pulau Sumatera, harus segera beradaptasi dengan kultur dan suasana yang nyaris berbeda dari negeri asal. Belum lagi, persoalan kemampuan bahasa yang sungguh penuh tantangan dan terasa super berat.  Penjelasan ustaz yang menerangkan syair itu dengan bahasa Arab, ditambah dengan keharusan ‘takallum’ seperti jabaran ustaz yang menerangkan tadi, menjadi pressur tersendiri yang terkadang menjadi sebuah alasan logis untuk mengundurkan diri atau ‘kabur’ dari sistem pendidikan kampus DM. Di tambah lagi dengan hafalan muthala’ah, jasus Qism al-Lughah dan tekanan bagian ibadah di saat menjelang subuh, juga wajah ‘sangar’   qismul aman yang acapkali terbawa larut menjadi mimpi yang menakutkan.

Namun, seiring putaran dinamika waktu, semua ‘derita’ itu tertelan dikunyah ambisi cita yang selalu membara. Nasehat dan tausiyah pak Kiyai Shonhaji di saat ba’da subuh dalam rutinitas dwi mingguan Ahad, menjadi nutrisi herbal hamasah yang berfungsi menjadi kekebalan tubuh yang menetralisir virus keputus-asaan dan kemalasan. Materi al-dars al-tarbiyah dengan khasnya Pak Kiyai, selalu mendenyutkan jantung optimisme, menggerakkan saraf-saraf heroisme yang sejatinya sudah tertanam dalam setiap pribadi para santrinya. Dalam kondisi penuh semangat yang senantiasa di pompa pak Kiyai,  seringkali ‘tempelengan ringan’ tangan beliau dirindukan. Suara beliau yang menggelegar di sa’at marah karena ketidaksidisplinan santrinya, acapkali menjadi nyayian musik yang kadang mengiang rindu untuk diputar kembali. Petuah, petatah petitihnya seolah menjadi irama-irama menyegarkan, yang kadangkala hadir dalam kondisi ketidak-siapan menghadapi pelbagai problematika getirnya kehidupan.

Nasehat khutbat al‘arsy yang khas sepanjang tahun, yaitu anjuran meminum ‘air kran’ sebagai obat agar bisa kerasan dan betah di pondok DM, seringkali menjadi guyonan bagi santri baru, yang kadang memiliki daya magis dan menyimpan keakuratan tersendiri bagi thalabah jadidah (santri baru). Bagaimanapun, makna filosopis minum ‘air kran’ mengajarkan akan kesederhanaan, mandiri dan siap dengan kondisi apa adanya. Para santri DM selalu diingatkan dengan pentingnya kebersamaan, kesamaan rasa, dan anti perbedaan kelas sosial. Filosopi ini diaplikasikan dalam kebijakan dapur santri, dimana  menu makanan, seperti sayur toge bening, ikan asin, tempe oreg dan tahu kuah kecap menjadi menu harian bagi semua, tanpa pandang kelas ekonomi orang tua atau wali mereka.

Potret keseharian dalam ‘penjara’ kampus DM, begitu kaya makna yang memberikan hadiah jutaan hikmah dalam perjalanan menjemput harapan. Semua beban dan penderitaan dalam drama kehidupan di panggung kampus DM, terasa misteri yang menyembunyikan jawaban dalam ungkapan ‘wansib, fainna laziz al‘aisy fin al-nasab’. Getirnya perjuangan hanya seolah bumbu yang memberi lezatnya santapan masa depan. Jarrib takun ‘arifan, ucapan yang senantiasa diungkapkan pak Kiyai merupakan kalimat bius yang menghilangkan semua beban yang berujung happy ending dengan senyum sumringah di sa’at wisuda.

Begitulah, petuah, kalimat irsyadat dan taujihat dari pak Kiyai selalu menjadi suplay energi bagi para muridnya. Kalimat-kalimat tayyibah tersebut selaras dengan ungkapan Khalifah Ali ra; “bainakum wa baina al-maw’izah, hijab min al-ghirrah” (antara kalian dengan nasehat adalah penghalang dari kealfaan). Tentu demikian, karena kata Imam Ali ra, lisan seorang guru yang cerdas (al-‘alim) bertolak dari relung hatinya yang dalam, dan hati seorang yang bodoh berada di belakang lisannya (lisan al-‘aqil wara’a qalbihi, wa qalb al-ahmaq wara’a lisanihi).

Kalimat dan ungkapan bijak pak Kiyai, jika di replay kembali, seolah ada nostalgia yang hadir dalam senyuman-senyuman sukses para santrinya. Kerinduan akan nasehat beliau, sering bercengkrama dengan suasana seketika rasa rindu dengan almamater menyesak di dada. Bait-bait tausiyat bliau tak pernah bosan untuk selalu direkam dalam dunia sadar, bahwa sang guru itu tak pernah menjadi bekas, apalagi mantan yang tak berguna ketika beliau alfa. Selalu ada kado tulus do’a tatkala bersua. Dan ketika menjenguknya, beliau berbisik, “Nak, gimana keadaanmu sekarang? janga lupa dengan almamatermu, jangan lupa dengan guru-gurumu, selalu-lah datang ke rumah pendidikan-mu jika ada luang dan kesempatan”. Bisikan yang menggetarkan itu, yang membuat lidah ini kelu dan tak bisa berucap kata-kata, walau bahasa mata dan rasa jiwa mejawab dengan ungkapannya sendiri tanpa mampu didiberi isyarat untuk berhenti seketika.     

 Bisikan kata-kata bliau itu, jelas denga yakin mengalir dari lubuk keikhlasan dan kesabaran yang tak bermuara. Letih dan lelah dalam mendidik murid-muridnya menjadi jamu mujarab untuk memberi senyum dalam setiap perjumpaan, meskipun hari ini beliau berbaring sembari menikmati do’a dan sapa dari santri-santri dan koleganya. Hati ini meronta ,bersimpul harapan yang tertumpuk dalam bait-bait munajat do’a, mohon ridha atas ilmu-ilmu yang telah belaiu ajarkan. “mohon doa pak Kiyai dan ridhanya, semoga ilmu yang telah diajarkan kepada kami menjadi berkah dan memberi manfaat bagi umat”. Dengan spontanitas bliau menjawab, ya saya sudah ikhlaskan.

Jawaban spontanitas itu, menjadi bisikan yang mengigaukan, yang tidak di balas dengan segudang materi dan pemberian. Sebagai murid dan tilmiz beliau, hanya ibtihalat dan do’a yang tak bosan kami lantunkan, semoga Allah swt memanjangkan persahabatan dan pertemuan kita di dunia ini, juga mengumpulkan kita semua dalam mahligai firdausNya kelak. Rabbi farhamna bibarakatihim, inilah fotongan syair yang selalu kami baca sebelum maghrib menjelang.. amin..

*H. Hermanto Harun, Lc, MHI, Ph.D (alumni ke 2 DM Cadas, Tangerang

(Alam Barajo, Kota Jambi, 3 Desember 2016.