Ibnuharun


Mengukuhkan Islam Politik
November 13, 2008, 3:53 am
Filed under: Islam dan Politik

Mengukuhkan Islam Politik

Hermanto Harun*

Gemuruh suasana Pemilu 2009 semakin menggenderang. Pertarungan politik dalam menggaet massa mulai memasuki arena, mengingat rentang waktu menjelang hari yang menentukan tersebut semakin memburu. Dalam kalkulasi politik, semua kesempatan menjadi ruang halal yang mesti dipergunakan untuk mendekati rakyat, karena, dalam medan demokrasi yang dianut bangsa Indoensia sekarang ini, suara rakyat merupakan “suara Tuhan” yang akan menitahkan siapa pemangku kekuasaan lima tahun kedepan.

Dalam konteks itu, maka sangat relevan jika membuka lagi lembaran Islam politik di Indonesia, karena jumlah muslim yang mayoritas akan selalu menjadi standar awal dalam mengambil kesimpulan akan korelasi Islam sebagai doktrin agama dan politik sebagai alat menuju kekuasaan. Eskalasi pertarungan politik di bumi pertiwi seolah tidak bisa lepas dari bincang hubungan agama dan politik, khususnya Islam dan kekuasaan. Hal ini karena, populasi muslim tidak mungkin terserabut dari bumi Indonesia, bahkan ada ungkapan “Indonesia ada karena adanya umat Islam, dan Islam memayoritas, karena adanya Indonesia”.

Agama versus Politik

Dalam ruang globalisasi, menurut al-Bak’labaki, manusia seakan menjadi masyarakat yang satu (al-qaryah al-‘alamiyah), sehingga jarak tempat antar manusia menjadi tidak berarti.Globalisasi yang kemudian melahirkan zaman modern ini memungkinkan setiap manusia itu untuk berinteraksi dengan sesamanya tanpa lagi terhalang oleh pelbagai sekat, baik oleh adat istiadat, budaya dan bahkan agama. Rambu-rambu adat, budaya dan bahkan agama seakan menjadi urusan privat yang tidak perlu lagi mengurusi persoalan publik. Artinya, hukum agama tidak lagi dijadikan coomon law yang akan mengatur lalu lintas interaksi antara sesama manusia dalam satu negara. Hukum agama hanya berlaku dalam kehidupan setiap individu, sesuai dengan agama yang diyakini. Hukum agama tidak diberlakukan menjadi hukum positif negara, kerana akan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, juga akan dituduh akan melahirkan kesan, bahwa agama mayoritas dalam sebuah Negara akan menejadi “hakim” dan penentu akan kebijakan publik, dan hal seperti ini akan mendapat tantangan, bahkan akan menimbulkan perpecahan yang berujung pada disintegrasi sebuah negara bangsa. (nation state).

Disamping itu juga, adanya klaim bahwa semua agama dianggap memiliki nilai-nilai subtansial yang universal, nilai-nilai itu tidak hanya dimonopoli oleh satu agama, akan tetapi semua agama mempunyai nilai-nilai kebaikan yang memiliki tujuan yang sama antara satu dengan yang lain. Hal inilah yang menurut Jhon Hick, bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi–masifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian semua agama adalah sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Isu ini kemudian dikenal dengan adanya istilah pluralisme agama. Isu ini berangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.

Pemahaman sekular liberal seperti di atas, di era global sekarang ini, seolah memberi kesimpulan bahwa agama harus terpisah dengan negara. Dengan alasan ini, maka muncul istilah negara sekular. Menurut Abd Wahab al-Masiry, sekular memiliki dua pemahaman, pertama, sekular yang parsial (‘ilmaniyah juziyah) yang berarti hanya memisahkan agama dengan negara (fasl al-din ‘an al-daulah). Kedua, sekular yang global (‘ilmaniyah syamilah), yang berarti memisahkan segala nilai-nilai kemanusiaan, akhlak, dan agama dari segala kehidupan manusia. Sejalan dengan Masiry, Naquib al-Attas menyatakan bahwa sekulariasi menghapus kuat kekuasaan agama sebagai lambang penyatu kebudayaan. Dia merupakan suatu gerak-daya sejarah yang lambat laun tapi pasti akan membebaskan masyarakat dan kebudayaan dari ikatan pengawalan agama dan pandangan alam yang ‘tertutup’—yakni merupakan yang lengkap serta tetap dan kekal.

Sebagai dogma transenden, Islam tidak semata cakupan aqidah, bukan pula semata ibadah spritual, bukan sistem ekonomi, sosial dan politik, akan tetapi Islam merupakan sistem hidup (manhaj hayat). Agama Islam bersifat universal yang tidak mengenal istilah parsialisasi dalam ajarannya. Disini adagium “shari’ah saleh li kulli zaman wa makan” menjadi terma yang tepat, kerana Islam selalu sejalan dengan karakter kehidupan manusia secara umum dan agama Islam selalu sesuia dengan fitrah manusia dan keberadaannya. Keyakinan inilah yang secara praktis mengamini Islam politik. Politik merupakan bagian dari instrumen keberagamaan dalam merealisasikan ajaran agama. Pandangan ini menurut Schacht misalnya, seperti yang dikutip Qaradhawi, menyatakan bahwa Islam lebih dari sekedar agama, karena Islam juga mengandung pandangan-pandangan hukum (qanun) dan politik. Secara umum, bahwa Islam adalah sistem budaya yang lengkap yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Ungkapan ini juga diamini oleh ‘gerbong’ pemikir orientalis yang lain seperti V. Fitzgerald, C.A. Nallino, R.Strothmann dan D.B Macdonald.

Integrasi Islam dan politik, sepertinya telah menjadi konsensus para ulama dan pemikir muslim. Pemahaman integratif tersebut, berangkat dari amalan Rasul bersama sahabatnya di Madinah yang mengandung sisi poilitk, meskipun dari orientasi dan landasannya bersifat agama. Meskipun, menurut Abd Raziq, bahwa Nabi Muhammad SAW tiada lain kecuali Rasul yang hanya berdakwah untuk agama Islam semata, bukan untuk kekuasaan dan bukan untuk mendirikan Negara. Pendapat Abd Raziq ini jelas tidak benar, kerana Nabi disamping menyampaikan risalah Islam kepada umatnya juga sebagai seorang penguasa yang bertugas melaksanakan hukum-hukum Islam. Inilah kali pertama pemerintahan Islam yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sesudah beliau.

Dari ulasan di atas, maka konsepsi agama versus politik, lebih khususnya Islam dan kekuasaan, merupakan hal yang tidak perlu dipertentangkan di bumi Indonesia. Konsepsi ini menjadi signifikan di ranah kekinian, mengingat dalam memasuki arena pemilu, khususnya Pemilu 2009, isu pemetaan dan pengkotakan Islam versus nasionalis, sekuler versus religius seringkali dihembuskan. Obralan isu ini jelas tidak akan menguntungkan bagi bangsa Indonesia, karena hanya akan menguras energi anak negeri secara sia-sia. Maka untuk kedepan, jalan yang tepat bagi anak bangsa adalah mengukuhkan Islam politik dalam arti sesungguhnya, yaitu menerapkan perdamaian, mengakkan keadilan dan membumikan nilai-nilai kemanusiaan. Lantas, perahu politik mana yang siap menggusung nilai idealitas ini?mari menjawab bersama dengan melihat realitas, kemudian menanyakan secara jujur jawaban intuisi dalam nubari kita yang tidak akan pernah berdusta.wallahu’alam.

*Dosen IAIN STS Jambi & Lecturer Part Time College Dar al-Hikmah Malaysia. Kandidat Doktor University Kebangsaan Malaysia.


Tinggalkan sebuah Komentar so far
Tinggalkan komentar



Tinggalkan komentar